Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil’alamin
Oleh : Ricky Valdy Syairuddin / AF4 / Mahasiswa Institud Studi Islam Darussalam (ISID)
Tulisan dimuat di majalah Lentera
Semester Genap 2012
Konsep Rahmatan Lil’alamin agama islam
Memang benar agama islam adalah agama rahmatan
lil’alamin. Namun banyak orang yang salah kaprah dalam menafsirkannya. Sehingga
banyak kesalahan dalam memahami praktek beragama bahkan dalam hal yang
fundamental yaitu akidah.
Pernyataan bahwa islam adalah agama yang
rahmatan lil’alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
“Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad,
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta”.[1]
Tugas
Nabi Muhammad adalah membawa rahmat bagi sekalian alam, maka itu pulalah
risalah agama yang dibawanya. Tegasnya, risalah Islam ialah mendatangkan rahmat
buat seluruh alam. Lawan daripada rahmat ialah bencan dan malapetaka. Maka jika
dirumuskan ke dalam bentuk kalimat yang menggunakan kata peniadaan, kita lau
mendapat pengertian baru tapi lebih tegas bahwa islam itu “bukan bencana alam”.
Dengan demikian kehadiran Islam di alam ini bukan untuk bencana dan malapetaka,
tetapi untuk keselamatan, untuk kesejahteraan dan untuk kebahagiaan manusia lahir
dan batin, baik secara perseorangn maupun secara bersama-sama dalam masyarakat.
Islam
itu ibarat Ratu Adil yang menjadi tumpuan harapan manusia. Ia harus mengangkat
manusia dari kehinaan menjadi mulia, menunjuki manusia yang tersesat jalan.
Membebaskan manusia dari semua macam kezhaliman, melepaskan manusia dari rantai
perbudakan, memerdekakan manusia dari kemiskinan rohani dan materi, dan
sebagainya. Tugas Islam memberikan dunia hari depan yang cerah dan penuh
harapan. Manusia akhirnya merasakan nikmat dan bahagia karena Islam.
Kebenaran
risalah Islam sebagai rahmat bagi manusia, terletak pada kesempurnaan Islam itu
sendiri. Islam adalah dalam satu kesatuan ajaran, ajaran yang satu dengan yang
lainnya mempunyai nisbat dan hubungan yang saling berkait. Maka Islam dapat
kita lihat serempak dalam tiga segi yaitu aqidah, syari’ah dan nizam.
Dalam
satu tinjuan, Islam adalah suatu aqidah atau keyakinan. Mulai daripada
Islam itu sendiri secara totalitas adalah suatu keyakinan, bahwa nilai-nilai
yang diajarkan kebenarannya mutlak karena bersumber dari yang Maha Mutlak. Maka
segala yang diperintahkannya dan diizinkannya adalah suatu yang haq
“Dan
carilah karunia yang Allah berikan kepadamu untuk keselamtan bagi negri
akhirat, tapi janganlah engkau lupakan masalahmu di dunia. Dan ciptakanlah
kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, janganlah engkau
berbuat kerusuhan di bmi, karena sesungguhnya Allah tidak senang bagi
orang-orang yang berbuat rusuh”. [2]
Yang
menjadi tantangan besar umat Islam masa kini adalah Islam belum lagi terwujud
risalahnya, ia belum lagi menjadi rahmat bagi manusia. Karenanya kita harus
mengadakan koreksi total terhadap cara-cara hidup kita, baik dalam bidang
ubudiyah maupun dalam bidang mu’amalah.[3]
Umat
Islam dilarang menjadi umat pengekor, tetapi sebagai pengendali. Tidak pula
boleh menjadi gerobak yang ditarik ke mana-mana, tetapi sebagai lokomotip yang
menarik dan bertenaga besar. Islam tidak condong ke Barat dan tidak pula miring
ke Timur, tapi Islam tampil ke tengah-tengah mengajak seluruh benua, ras dan
bangsa untuk berkiblat kepadanya. Islamlah yang harus memimpin jalannya sejarah
menuju kepada hidup dan kehidupan yang bahagia (hayatun thayyibatun) dalam
rangka masyarakat yang sejahtera dan bahagia di bawah naungan ampunan Allah
(baldatun thayyibatun wa rabbun ghofuur). Betapa tinggi fungsi umat Islam di
tengah-tengah kancah kehidupan manusia Allah berfirman :
“Kamu
adalah umat yang paling baik, yang ditempatkan ke tengah-tengah manusia, untuk
memimpin kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan percaya penuh kepada
Allah”.[4]
Pandangan Islam AtasBerbagaiRasdan Agama
Dalam agama Islam memandang agama-agama lain dan berbagai ras pun mempunyai konsep yang baik.
Islam sebagai konstitusinya juga mewajibkan perdamaian antar manusia. Ia
menyatakan mengapa manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tiada
lain untuk memudahkan saling berkenalan dan saling berdekatan antara sesama manusia,
bukan menjadikan jalan agar sebagian manusia itu lebih tinggi dari yang
lainnya, dan agar sebagian manusia itu dapat menjadikan dirinya tuhan.
Orang mukmin mencintai segenap manusia, karena
mereka adalah saudaranya, sama-sama keturunan Adam dan teman karibnya dalam
mengabdikan diri kepada Allah. Antara dia dengan mereka diikat oleh pertalian
darah, tujuannya sama dan musuhnya pun sama. Allah SWT menegaskan :
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian
dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.”[5]
Akidah
Islam tidak membenarkan perbedaan darah dan perbedaan suku, ras, bangsa dijadikan alasan untuk saling
berpecahbelah. Seorang muslim mempercayai, bahwa seluruh umat manusia adalah
keturunan Adam. Dan Adam diciptakan dari tanah. Perbedaan suku, bangsa, dan
warna kulit, adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan dan kebijaksanaan Allah,
dalam menciptakan dan mengatur makhluk-Nya, sebagaimana disebutkan dalam
Al-Quran :
”Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasa kalian dan warna kulit kalian. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui.”[6]
Bagaimana
mungkin seorang muslim akan merendahkan suatu bangsa dari bangsa-bangsa
manusia, sedangkan al-Quran mengajarkan supaya menghormati segenap makhluk,
baik bangsa, binatang ataupun burung.
“Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan (umat-umat) juga seperti kalian. Tiadalah Kami
alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpun.”[7]
Demikianlah
pandangan orang mukmin terhadap umat manusia. Tiada perasaan kebanggaan tentang
nasab, tempat kelahiran, tidak ada perasaan dengki antara kelompok satu dengan
yang lain, antara individu satu dengan yang lain. Yang ada hanyalah perasaan
cinta kasih, persamaan dan persaudaraan.[8]
Pengaruh Rahmatan Lil’alamin Bagi Non Muslim
Dalam
memperlakukan non muslim (Ahli Dzimmah) mereka mendapatkan hak seperti
yang didapatkan oleh kaum Muslimin, kecuali pada perkara-perkara yang terbatas
dan perkecualian. Sebagaimana halnya juga mereka dikenakan kewajiban seperti
yang dikenakan terhadap kaum Muslimin. Kecuali pada apa-apa yang
diperkecualikan. Ialah hak memperoleh perindungan yaitu melindungi mereka dari
segala permusuhan eksternal. Ijma’ Ulama umat Islam terjadi dalam hal ini
seperti yang diriwayatkan Abu Daud dan Al-Baihaqi
“Siapa-siapa
yang menzhalimi kafir mu’ahad atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar
kesanggupannya, atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa kerelaannya, maka
akulah yang menjadi seterunya pada hari Kiamat (HR. Abu Daud dan
Al-Baihaqi)
Kemudian melindungi darah dan badan mereka,
melindungi harta mereka, menjaga kehormatan mereka, memberikan jaminan sosial
ketika dalam keadaan lemah, kebebasan beragama, kebebasan bekerja, berusaha dan
menjadi pejabat, inilah beberapa contoh dan saksi-saksi yang dicatat sejarah
mengenai sikap kaum Muslimin dan pengaruhnya terhadap Ahli Dzimmah.[9]
Islam Bukan Agama Teroris
Islam
memang agama yang menyebarkan benih-benih kasih sayang, cinta dan damai. Islam
secara eksklusif bukan berarti terorisme, tetapi eksklusif dalam pengertian
akidah. Yaitu mempercayai dan meyakini bahwa Islam agama yang benar. Dan itu
harga mati di dalam akidah setiap Muslim. Dan bukan berarti Terorisme. Nah,
secara inklusifnya Islam sendiri mewajibkan umatnya untuk bertoleran sesama
manusia. Dan ini tidak bisa diartikan dengan Pluralisme agama.
Yusuf
Qardhawi menyatakan bahwasanya tujuan Islam adalah membangun manusia yang
shalih. Tidak mungkin Islam menyebarkan benih-benih terorisme. Dan bila “jihad”
dalam pengertian islam adalah menyeru kepada agama yang benar, berusaha
semaksimal mungkin baik dengan perkataan ataupun perbuatan dalam berbagai
lapangan kehidupan dimana agama yang benar ini diperjuangkan dan dengannnya ia
memperoleh kemenangan maka ia, tentunya lebih luas ketimbang “perang” bahkan
terorisme.[10]
Dengan
Islam yang Rahmatan lil’alamin ini, kita telah dapat memberikan kesimpulan
bahwa Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi suatu perdaban yang di dalamnya
terdapat pandangan hidup (framework) yang jelas dan universal dalam hal
kebenaran.
Referensi
1.
Drs Nasruddin Razak, Dienul Islam, Bandung, Al-Ma’arif 1986
2.
Musthafa Muhammad Ath-Thahhan, Pribadi Muslim Tangguh, Jakarta Timur,
Pustaka Al-Kautsar 2000
3.
Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama
Konflik dan Nirkekerasan, Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta 2002
4.
Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, Jakarta
1994
5.
Dr. Yusuf Al-Qardhawy, Pengantar Kajian Islam, Jakarta
Timur, Pustaka Al-Kautsar 2002
[1]Al-Anbiya :107
[2]Al-Qashash (28) : 77
[3]Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam,
Bandung Alma’arif 1986, hal 84
[4] Al-Imran
(3) : 110
[5]An-Nisa (4) : 1
[6]Ar-Ruum (30) : 22
[7]Al-An’am (6) : 38
[8]Dr. Yusuf Qardhawi, Merasakan
Kehadiran Tuhan, Yogyakarta Mitra
Pustaka 1999, hal 157
[9]Musthafa Muhammad Ath-Thahhan, Pribadi Muslim Tangguh, Jakarta Timur,
Pustaka Al-Kautsar 2000 hal 286
[10]Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, Jakarta 1994 hal 413
Tidak ada komentar:
Posting Komentar