Minggu, 20 Maret 2016



Fenomenologi sebagai Satu Paradigma Keilmuan Sosial
(Tela’ah Pemikiran Edmund Husserl)

Ricky Valdy
Alumni S1 Prodi Ilmu Aqidah dan Filsafat Islam Fak. Ushuluddin
Universitas Darussalam Gontor 
Abstrak
Sebagai salah satu tema yang banyak mendapatkan perhatian dalam isu filsafat modern adalah Fenomenologi. Fenomenologi adalah sebuah paradigma baru di zaman modern yang menawarkan fenomen-fenomen yang mempunyai keterkaitan hubungan antara manusia dengan realitas. Edmund Husserl, memberikan paradigmanya dalam memandang realitas sosial atas pembacaan kritiknya terhadap positivisme-nya Auguste Comte yang merambah kajiannya pada ilmu sosial yang objek kajiannya sangat jauh dari kajian ilmu-ilmu alam. Makalah ini adalah upaya untuk  menela’ah paradigma baru Edmund Husserl di abad modern yaitu Fenomenologi sebagai ilmu yang melihat realitas apa adanya.
Abstrak
As one of the many themes that get a lot of attention on modern issues of philosophy is Phenomenolgy. As a new paradigm in modern era, phenomenology offers phenomenon’s that has connection between human and reality. Edmund Husserl, gives his paradigm in view of social reality as reading criticism of Auguste Comte Positivism’s which is the object of social science spread away of natural science. This paper is a way to discuss a new paradigm of Edmund Husserl in modern era that phenomenology as a science that view the reality of what it is.



Pendahuluan
Perkembagan ilmu pengetahuan tidak lepas dari paradigma yang menjadi dasarnya. Paradigma memberikan gambaran mengenai kerangka kerja ilmiah dalam meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, paradigma juga memberikan dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset. Dengan begitu, paradigma menjadi sebuah kajian dimana anlisis dan kritik terhadap ilmu pengetahuan terjadi. Begitu pentingnya peran paradigma, sehingga para ilmuwan selalu berkerja dengan menggunakan paradigma tertentu. Karena dengan paradigma tersebut, seorang ilmuwan mampu memecahkan kesulitan yang dihadapinya dalam kerangka kerja ilmiahnya, sehingga menimbulkan sebuah perubahan mendasar dalam usahanya mengembangkan suatu ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah tersebut pada akhirnya memunculkan berbagai macam keyakinan dasar yang darinya melahirkan paradigma-paradigma. Dimulai dengan Rasionalisme yang dicetuskan oleh Rene Descartes dengan dictum “cogito ergo sum”, kemudian Empirisme yang diprakarsai oleh Francis Bacon (1561-1626) atas ketidaksetujuannya terhadap Rasionalisme karena menjadikan rasio satu-satunya sumber pengetahuan. Empirisisme menegaskan bahwa pengalaman-lah sumber pengetahuan. Kemudian Immanuel Kant mencoba mendamaikan keduanya dengan Kritisismenya, dan kemudian disusul dengan positivisme Auguste Comte dan selanjutnya intuisionisme dimana Edmund Husserl sebagai tokoh utamanya. Asumsi-asumsi dasar ini akan menjadi pondasi dalam paradigma-paradigma yang digunakan oleh para ilmuwan.
Dari berbagai macam paradigma yang ada, positivisme disebut sebagai sebuah alat analisis terlama (tidak kurang dari 400 tahun) yang mencoba mengkaji masalah sosial dengan hukum-hukum alam. Paradigma yang dipopulerkan oleh Auguste Comte ini meghantarkannya menjadi seorang bapak Sosiologi modern. Kecenderungannya dalam ilmu alam, membuatnya ingin mencoba mengaplikasikan hukum-hukum alam yang ia temukan dalam kajian ilmu sosial. Akan tetapi, paradigma ini mendapatkan kritik tajam dari tokoh setelahnya, yaitu Husserl. Ia mengkritik positivisme Comte yang merambah medan kajiannya pada ilmu-ilmu sosial yang objek kajiannya sangat jauh berbeda dari ilmu-ilmu alam. Dari sanalah ia menawarkan satu paradigma baru yang dikenal sebagai fenomenologi.
Dalam makalah singkat ini, akan dipaparkan bagaimanakah kerangka dasar dari konsep paradigma fenomenologi ini, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan konsep pening sebagai langkah dalam mengaplikasikan paradigma tersebut terhadap ilmu sosial.

Biografi Singkat Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) dilahirkan di kota kecil Prosznitz di daerah Moravia yang pada waktu itu merupakan bagian dari wilayah kekaisaran Austria Hongaria, namun setelah akhir perang dunia pertama 1918 sampai sekarang masuk ke dalam wilayah Cekoslovakia. Pada awalnya, ia belajar ilmu pasti di universitas di Leipzig, Berlin, dan Wina seperti matematika, fisika, astronomi, dan filsafat. Dalam beberapa waktu, ia sempat terkenal sebagai orang yang ahli dalam bidang matematika di Berlin. Namun keahliannya di bidang matematika tidak menghalanginya untuk terus menekuni bidang filsafat. Ia menekuni bidang filsafat di bawah arahan Brentano, dan akhirnya Husserl sebagai seorang muridnya banyak dipengaruhi oleh Brentano[1], yang mempunyai pengaruh besar di Universitas Wina. Suatu tempat yang mempunyai peran memadukan pemikiran skolastik dan empirisisme. Pola pikir Wina ini telah mempengaruhi Husserl yang ditandai dengan adanya ajaran intensionalitas.
Pengaruh itu juga diakui oleh Mary Warnoct dengan berpendapat bahwa: Husserl as well known, referred to this program as the origin of phenomenology : his conversion of the scholastic concept of intentionality into a descriptive root-concept of psychology constitutes a great discovery (Huibers, 1986:11). Minatnya di bidang filsafat ini diteguhkan dengan pengambilan jurusan doktornya dalam bidang filsafat, yaitu filsafat matematika dengan judul disertasi Beitra gezur Variationsrechnung pada tahun 1883. Wawasannya di bidang Pemikiaran Fenomenologi Edmund Husserl matematika ini diperluas setelah ia menjadi dosen. Namun demikian, hasil karyanya setelah dipublikasikan justru banyak mendapat kritik.
Karenanya, ia lalu melakukan kajian ulang dan akhirnya ia menelorkan suatu karya Logische Untersuchungen, 1900-1901 (Penelitian-penelitan tentang logika). Karya tersebut disusul dengan karya-karya berikutnya seperti, Ideen zu einer reinen Phanomenologie und phanomenologischen Philosophie 1913 (Scruton, 1995: 252), Formale und tranzendentale Logik 1929, Erfahrung und Urteil 1930 (Berten, 1995: 95). Pada akhir masa hidupnya, Husserl menghadapi berbagai rintangan disebabkan karena ia adalah keturunan Yahudi dan kemudian ia diberhentikan dari jabatannya sebagai Dosen di Universitas Feiburg.[2]

Husserl dan Fenomenologi
            Husserl dikenal dengan filsuf fenomenologi. Istilah Fenomenologi itu sediri berasal dari kata Inggris (phenomenon) dan Yunani, phainomenon, yaitu apa yang tampak. Fenomen mempunyai pengertian suatu obyek atau gejala yang tampak pada kesadaran kita secara indrawi[3]. Dalam arti sempit, fenomenologi adalah ilmu tentang gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam arti luas, fenomenologi adalah ilmu tentang fenomen-fenomen atau apa saja yang tampak. Fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang memusatkan diri pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia[4].
Akan tetapi, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Husserl sebagai seorang filsuf berkebangsaan Jerman, pemikirannya pun sedikit-banyak terpengaruh oleh pemikir-pemikir lain sebelumnya di Negara tersebut. Ini dapat dilihat bahwa istilah serta perbincangan mengenai fenomenologi sudah ada sebelum Husserl. Adalah J.H Lambert seorang tokoh filsafat berkebangsaan Jerman disebut orang yang pertama kali menggunakan istilah ini dalam karyanya Neue Organon (Leipzig, 1764). Lambert memakai istilah fenomenologi untuk menyatakan teori penampakan fundamental terhadap semua pengetahuan empirik[5].
Di sisi lain, Immanuel Kant menamakan bagian keempat dari karyanya dengan Metaphysical Principles of Natural Science sabagai Phenomenology. Ia mengurai gerak dan diam sebagai karakteristik umum yang menandai adanya setiap gejala. Ia juga menyiratkan adanya perbedaan dengan Husserl dalam mengartikan fenomena. Menurut Kant, fenomena adalah bagian dari nomena. Logika berpikir ini dipakai Kant untuk mengatasi kekacauan pemikiran yang mencampuradukkan antara obyek dari rasio murni dan obyek dari rasio praktis. Kant berpendapat, bahwa manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang tampak, bukan noumena yaitu realitas di luar kesadaran manusia.[6] Adapun Hegel dalam Phenomenology of the Spirit menggunakanya untuk merinci tahap-tahap yang meningkatkan manusia Barat pada akal budi universal.
Walaupun demikian, fenomenologi menjadi salah satu metode dalam kajian filsafat dan aliran epistemologi baru ada ketika berada di tangan Husserl.[7] Lantas tugas utama fenomenologi menurut Husserl untuk menjalin keterkaitan antara manusia dengan realitas. Hal ini digunakan agar fenomenologi dapat melihat realitas apa adanya, dengan tidak tercampur oleh asumsi-asumsi dan prasangka-prasangka manusia sebelum melihat realitas.[8]
Lebih lanjut, guna mengetahui pandangan Husserl mengenai fenomenologi serta penerapannya dalam melihat ilmu-ilmu sosial. Setidaknya kita harus mengetauhi dua metode penting di dilamanya, pertama prinsip epoche dan eidict vision, kedua mengenai konsep lebenswelt (dunia-kehidupan)

Prinsip Epoche dan Eidict Vision
Metode epoche ini merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan lebih dahulu. Baru setelah itu menyaring fenomena-fenomena yang ada, agar kita dapat sampai pada intisari dari fenomena tersebut, inilah yang Husserl sebut eidict vision. Kata epoche sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang berarti menunda keputusan atau mengosongkan diri dari keyakinan tertentu. Ia juga dapat diartikan sebagai tanda kurung pada setiap keterangan yang diperoleh dari setiap fenomena yang tampil, dengan tidak memberikan putusan apakah fenomena terebut salah atau benar terlebih dahulu. Artinya, Husserl melalui metode epoche nya ingin menjadikan fenomena apa adanya bukan tercampur oleh asumsi-asumsi dan praduga-praduga yang datang dari keyakinan-keyakinan tertentu ketika melihat realitas kehidupan.[9] Dari sinilah selanjutnya keluar ungkapan terkenal dari seorang Husserl, yaitu zuruck zu den sachen selbt (kembalilah pada realitas itu sendiri)
Epoche sendiri memiliki empat macam, yaitu (1) Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan. (2) Method of existensional bracketing, meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda, (3) Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni, dan (4) Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. Menerapkan empat metode epoche, maka seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang diamati.[10]
Setelah melakukan pengamatan langsung terhadap realitas secara bebas (melihat realitas apa adanya), barulah dilakukan penyaringan fenomena (realitas yang tampak). Langkah kedua ini disebut juga eidetic vision-membuat ide, menggambarkan idea atau dengan kata lain disebut juga sebaga “reduksi”, artinya menyaring fenomena-fenoma tadi hingga akhirnya sampai kepada intisari fenomena tersebut. Di sini Husserl menawarkan tiga tahap reduksi sebagaima dikutip oleh Rappar dalam bukunya. Pertama adalah reduksi fenomenologis dengan cara melakukan penyaringan pengalaman pertama yang terarah kepada eksistensi fenomena. Pengalaman yang bersifat indrawi tidak dibuang begitu saja, tetapi ditangguhkan dalam proses penyaringan sehingga tersingkirlah semua bentuk-bentuk prasangka dan praanggapan.[11]
Yang kedua reduksi eiditis.[12] Ini dilakukan untuk menemukan hakikat fenomena yang tersembunyi. Pengamatan terhadap fenomena dilakukan secara teliti agar supaya terungkap hakikat fenomena yang sesungguhnya. Dalam proses ini, pengamat perlu mengarahkan diri kepada isi yang paling mendasar dan segala sesuatu yang paling hakiki. Langkah ini merupakan proses lebih lanjut dari langkah yang pertama.
Ketiga, reduksi trasendental adalah menyisihkan dan menyaring semua Hubungan antara fenomena-fenomena yang diamati dengan lainnya. Misalnya  saja fenomena yang diamati itu adalah diri kita sendiri. Kita harus menyadari  bahwa diri kita sendiri senantiasa memiliki hubungan dengan yang lainnya,  yang berada di luar kita sendiri. Hubungan yang demikian membuat kita  senantiasa berada dalam situasi tertentu, seperti kita sedang makan, sedang menulis, mandi dan sebagainya. Reduksi ini harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran empiris sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan dengan fenomena lainnya[13].

Konsep Dunia-Kehidupan (Lebentswelt)
            Dalam dunia-kehidupan oleh pengertian Husserl dapat dipahami kurang lebih, dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Konsep ini sangat penting dalam kajian fenomenologi berkenaan dengan kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial. Konsep ini pula dapat menjadi dasar ilmu pengetahuan guna mengatasi problem yang sedang dihadapi ilmu pengetahuan akibat pengaruh pola pikir positivistik.     
Konsep lebentselt (dunia-kehidupan) sejatinya memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi sebelum kita meneorikan atau mereflesikannya secara filosofis. Dunia kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Sayangnya, dunia kehidupan itu sudah dilupakan. Kita kerap memaknai kehidupan tidak secara apa adanya, tetapi berdasarkan teori-teori, refleksi filosofis tertentu, atau berdasarkan penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi kehidupan, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Maka fenomenologi menyerukan zuruck zu de sachen selbt (kembali kepada benda-benda itu sendiri), yaitu upaya untuk menemukan kembali dunia kehidupan.[14]
            Dalam kehidupannya dengan ilmu sosial, memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (yang biasanya diterjemahkan, “dunia-kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmun Husserl, dalam bukunya termasyhur, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep dunia-kehidupan merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat ola pikir positivistik dan sainstistik itu. Katanya: “dunia-kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan bagi ilmu pengetahuan[15]
            Sebenarnya, kedua konsep dalam paradigma fenomenologi di atas menjadikan adanya perbedaan antara pendekatan (metode) terhadap apa itu ilmu-ilmu alam dan apa itu ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam adlah ilmu-ilmu yang nomotetis, artinya penelitiannya dilakukan guna mendapatkan atau menghasilkan hukum-hukum dari objek kajiannya. Sedangkan ilmu-ilmu sosial adalah kebalikan dari ilmu alam. Ia bukan untuk mendapatkan hukum-hukum melainkan finalnya adalah menggambarkan (idiografis) atau juga melukiskan keunikan-keunikan yang terjadi pada objek realitas sosial yang ada. Dari sanalah selanjutnya pendekatannya berbeda. Jika yang pertama dengan pendekatan Erklären (menjelaskan), sedangkan yang kedua dengan Verstehen (memahami) sebagimana diterangkan oleh Dilthey.[16]

Penutup
Metode Fenomenologi yang dibawa oleh Husserl secara tidak langsung merupakan tanggapan atu kritik terhadap problem keilmuan modern yang dianggap problematik oleh sebab pengaruh besar paradigma positivisme Auguste Comte, dimana ia hanya melihat apa yang tampak (positif) dan mengabaikan aspek lainnya. Ini diperparah ketika Comte masuk tidak hanya pada ranah ilmu-ilmu alam, tetapi juga ilmu sosial yang sudah dipastikan objek kajiannya jauh berbeda dari ilmu alam itu sendiri. Dari situ, sejauh ini metode ini yang baik digunakan untuk menerengkan sesuatu-pada kajian sosial khususnya adalah metode fenomenologi. karena kita akan mendapatkan gambaran umum dan mendalam dari objek yang ingin kita teliti atau ketahui berdasarkan penampakkan-penampakkan pada diri objek. Dan penampakkan-penampakkan yang dimaksudkan dalam metode fenomenologi merupakan penampakkan yang sama sekali baru. Dalam arti tidak ada tirai yang menghalangi suatu realitas itu untuk menampakkan diri. Dan karena realitas yang muncul itulah maka kita berkesadaran. Fenomenologi ini jua yang pada akhirnya menjadikan filsafat ilmu merambah dan teraplikasikan tidak hanya pada karakter ilmiah ilmu-ilmu alam tetapi juga dapat diterapkan pada ranah sosial.
Selanjutnya, metode yang dibawa oleh Husserl ini menjadikan dua pendekatan, yaitu Prinsip Epoche dan Eidict Vision dan Konsep Dunia Kehidupan (Lebentswelt). Keduanya ini sebagai jalan untuk dapat memahami apa sebenarnya yang terjadi pada realitas secara apa adanya. Oleh karena objeknya yang berbeda dari ilmu alam, ia tidak bisa menghukumi hasil kajian dan hanya pada tataran menerangkan keunikan-keunikan realitas objeknya saja.


Daftara Pustaka
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (PT Gramedia, Jakarta, 2005), cetakan keempat
Donald M, Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 7), (United States of America, Thomson Gale, 2006)
Hadiwijono, Hasan, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yohjakarta: Kanisius, 1993)
Kenny, Anthony, A New History of Western Philosophy: Philosophy in the Modern World, Vol IV, (Oxford: Oxford University Press, 2007)
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, Cet 8, 2014)
Rachman, Budhy Munawar, Fenomenologi Diri dan Konstruk Sosial Mengenal Kebudayaan Edmund Husserl dan Jejak-jejaknya pada Maurice Merleau-Ponty dan Peter Berger, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol 1, No. 6, Juli, 2013
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996)
Woodruff Smith, Barry Smith & David, Husserl’s Place in the iin the Hs in the Historyin the History of Philosophy dalam The Cambridge Companion to Husserl, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999),
Zubaidi, Mohammad Muslih dan Sujiat, Kritik Epistemologi & Model PembacaanKontemporer, (Yogyakarta: LESFI, 2013),






[1]Budhy Munawar Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruk Sosial Mengenal Kebudayaan Edmund Husserl dan Jejak-jejaknya pada Maurice Merleau-Ponty dan Peter Berger, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol 1, No. 6, Juli, 2013, p. 493.
[2]Semua bagian tentang biografi ringkasnya diambil dari David Woodruff Smith, Husserl, (USA: Routladge, 2007), p. 11-39. Lihat juga Barry Smith & David Woodruff Smith, Husserl’s Place in the iin the Hs in the Historyin the History of Philosophy dalam The Cambridge Companion to Husserl, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), p. 1.
[3]Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia, cet 5, 2005), p. 230-31
[4]Ibid, p. 232
[5]Donald M. Borchert (ed), Encyclopedia Of Philosophy, (USA, Thomson Gale, 2005), Vol. 7, p. 278.
[6]Mohammad Muslih dan Sujiat Zubaidi, Kritik Epistemologi & Model PembacaanKontemporer, (Yogyakarta: LESFI, 2013), p. 115.
[7]Lihat Donald M. Borchert (ed), Encyclopedia Of Philosophy........., p. 279.
[8]Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, Cet 8, 2014), p. 145.
[9]Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy: Philosophy in the Modern World, Vol IV, (Oxford: Oxford University Press, 2007) , p. 162
[10]Lihat Hasan Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yohjakarta: Kanisius, 1993), Cet. Ke 9.
[11]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), p. 119.
[12]Lihat Mohammad Muslih dan Sujiat Zubaidi, Kritik Epistemologi........., p. 128.
[13]Lihat  Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat........., p. 120. Juga ibid, p. 128.
[14]Lihat Mohammad Muslih,  Filsafat Ilmu........., p. 148.
[15]Ibid, p. 148.
[16]Ibid, 149.

Sabtu, 15 September 2012


Entrepreneurship Dalam Perspektif Islam

ricky valdy / AF5/ ISID
Pengertian, dan Konsep Dasar Entrepreneurship
Semenjak negara kita dilanda krisis ekonomi, masyarakat berusaha dengan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhannya. PHK kerap terjadi, terbatasnya lapangan pekerjaan  juga meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Melihat kondisi tersebut, maka dunia pendidikan harus mampu berperan aktif menyiapkan SDM terdidik yang mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Ia tidak cukup hanya menguasai teori-teori, tetapi juga mau dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial. Ia tidak hanya mampu menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku sekolah/kuliah, tetapi juga mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang sebagaimana tersebut adalah pendidikan yang berorientasi pada pembentukan jiwa entrepreneurship, ialah jiwa keberanian dan kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar, jiwa kreatif untuk mencari solusi dan mengatasi problema tersebut, jiwa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Pendidikan yang berwawasan kewirausahaan, adalah  pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup (life skill) pada peserta didiknya melalui kurikulum yang terintegrasi yang dikembangkan.
Berwirausaha melibatkan dua unsur pokok, yaitu peluang dan kemampuan menanggapi peluang, Berdasarkan hal tersebut maka definisi kewirausahaan adalah “tanggapan terhadap peluang usaha yang terungkap dalam seperangkat tindakan serta membuahkan hasil berupa organisasi usaha yang melembaga, produktif dan inovatif.”
Dalam pandangan Islam, bekerja dan berusaha, termasuk berwirausaha boleh dikatakan  merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia karena keberadaannya sebagai khalifah fil-ardh dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya ke arah yang lebih baik. Kerangka pengembangan kewirausahaan di kalangan tenaga pendidik dirasakan sangat penting. Karena pendidik adalah agent of change yang diharapkan mampu menanamkan ciri-ciri, sifat dan watak serta jiwa kewirausahaan atau jiwa entrepreneur bagi peserta didiknya. Disamping itu jiwa entrepreneur juga sangat diperlukan bagi seorang pendidik, karena melalui jiwa ini, para pendidik akan memiliki orientasi kerja yang lebih efisien, kreatif, inovatif, produktif serta mandiri.
Dalam Islam, anjuran untuk berusaha dan giat bekerja sebagai bentuk realisasi dari kekhalifahan manusia tercermin dalam surat Ar-Ra’d: 11 yang maksudnya “ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum itu mau merubah dirinya sendiri”. Menurut al-Baghdadi bahwa ayat ini bersifat a’am. Yakni siapa saja yang mencapai kemajuan dan kejayaan bila mereka sudah merubah sebab-sebab kemundurannya yang diawali dengan merumuskan konsepsi kebangkitan. (Yusanto & Kusuma, 2002).
Integritas Pendidikan Entrepreneurship Dalam Islam
Keberhasilan seorang entrepreneur dalam Islam bersifat independen. Artinya keunggulannya berpusat pada integritas pribadinya, bukan dari luar dirinya. Hal ini selain menimbulkan kehandalan menghadapi tantangan, juga merupakan garansi tidak terjebak dalam praktek–praktek negatif dan bertentangan dengan peraturan, baik peraturan agama maupun peraturan teknis negara tentang usaha. Integritas entrepreneur muslim tersebut terlihat dalam sifat – sifatnya, antara lain:
  • Taqwa, tawakal, zikir dan bersyukur.
Seorang entrepreneur muslim memiliki keyakinan yang kukuh terhadap kebenaran agamanya sebagai jalan keselamatan, dan bahwa dengan agamanya ia akan menjadi unggul. Keyakinan ini membuatnya melakukan usaha dan kerja sebagai dzikir dan bertawakal serta bersyukur pasca usahanya.
  • Motivasinya bersifat vertical dan horisontal.
Secara horizontal terlihat pada dorongannya untuk mengembangkan potensi dirinya dan keinginannya untuk selalu mencari manfaat sebesar mungkin bagi orang lain. Sementara secara vertical dimaksudkan untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT. Motivasi di sini berfungsi sebagai pendorong, penentu arah dan penetapan skala prioritas.
  • Niat Suci dan Ibadah
Bagi seorang muslim, menjalankan usaha merupakan aktifitas ibadah sehingga ia harus dimulai dengan niat yang suci (lillahi ta’ala), cara yang benar, dan tujuan serta pemanfaatan hasil secara benar. Sebab dengan itulah ia memperoleh garansi keberhasilan dari Tuhan.
  • Azam “Bangun Lebih Pagi”
Rasulullah mengajarkan kepada kita agar mulai bekerja sejak pagi hari. Setelah sholat Subuh, kalau tidak terpaksa, sebaiknya jangan tidur lagi. Bergeraklah untuk mencari rezeki dari Rab-mu. Para malaikat akan turun dan membagi rezeki sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
  • Selalu berusaha Meningkatkan llmu dan Ketrampilan
Ilmu pengetahuan dan ketrampilan, dua pilar bagi pelaksanaan suatu usaha. Oleh karenanya, memenej usaha berdasarkan ilmu dan ketrampilan di atas landasan iman dan ketaqwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan seorang entrepreneur.
  • Jujur
Kejujuran merupakan salah satu kata kunci dalam kesuksesan seorang entrepreneur. Sebab suatu usaha tidak akan bisa berkembang sendiri tanpa ada kaitan dengan orang lain. Sementara kesuksesan dan kelanggengan hubungan dengan orang lain atau pihak lain, sangat ditentukan oleh kejujuran keduabelah pihak.
  • Suka Menyambung Tali Silaturahmi
Seorang entrepreneur haruslah sering melakukan silaturahmi dengan mitra bisnis dan bahkan juga dengan konsumennya. Hal ini harus merupakan bagian dari integritas seorang entrepreneur muslim. Sebab dalam perfektif Islam, silaturahmi selain meningkatkan ikatan persaudaraan juga akan membuka peluang – peluang bisnis baru.
  • Menunaikan Zakat, Infaq dan Sadaqah ( ZIS )
Menunaikan zakat, infaq dan sadaqah harus menjadi budaya entrepreneur muslim. Menurut Islam sudah jelas, harta yang digunakan untuk membayar ZIS, tidak akan hilang, bahkan menjadi tabungan kita yang akan dilpatgandakan oleh Allah, di dunia dan di akhirat kelak.
  • Puasa, Sholat Sunat dan Sholat Malam
Hubungan antara bisnis dan keluarga ibarat dua sisi mata uang sehingga satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Sebagai seorang entrepreneur, disamping menjadi pemimpin di perusahaannnya dia juga menjadi pemimpin di rumah tangganya. Membiasakan keluarga, istri, anak, untuk melaksanakan puasa-puasa atau sholat-sholat sunat dan sholat malam harus dilakukan seorang entrepreneur muslim, karena dapat memberikan bekal rohani untuk menjalankan usahanya.
  • Mengasuh Anak Yatim
Sebagai entrepreneur, mengasuh anak yatim merupakan kewajiban. Mengasuh atau memelihara dalam arti memberikan kasih sayang dan nafkah (makan, sandang, papan dan biaya pendidikan). Lebih baik lagi bila juga kita berikan bekal (ilmu/agama/ketrampilan) sehingga mereka akan mampu mandiri menjalani kehidupan di kemudian hari.
Sebagai konsekuensi pentingnya kegiatan entrepreneurship, Islam menekankan pentingnya pembangunan dan penegakkan budaya entrepreneurship dalam kehidupan setiap muslim. Budaya entrepreneurship muslim itu bersifat manusiawi dan religius, berbeda dengan budaya profesi lainnya yang tidak menjadikan pertimbangan agama sebagai landasan kerjanya. Dengan demikian pendidikan entrepreneur muslim akan memiliki sifat – sifat dasar yang mendorongnya untuk menjadi pribadi yang kreatif dan handal dalam menjalankan usahanya atau menjalankan aktivitas pada perusahaan tempatnya bekerja.
Jiwa entrepreneur seseorang bukanlah merupakan faktor keturunan, namun dapat dipelajari secara ilmiah dan ditumbuhkan bagi siapapun juga. Pendidikanentrepreneurship dapat dilakukan apabila pendidik sudah memiliki jiwa entrepreneur yang tinggi. Yang penting dan yang utama dari pendidikan entrepreneurship adalah semangat untuk terus mencoba dan belajar dari pengalaman. “Gagal itu biasa, berusaha terus itu yang luar biasa”, mungkin seperti itulah gambaran yang harus dikembangkan oleh manusia-manusia Indonesia agar tetap eksis dalam pertarungan bisnis yang semakin transparan dan terbuka.
Referensi:
M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Wijayakusuma. Menggagas Bisnis Islami.
Ya’qub. Kode Etik Dagang Menurut Islam.
http://pendidikanentrepreneurshipdalamperspektifislam.rifqiemaulana.wordpress.com

Minggu, 24 Juni 2012

Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil’alamin


Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil’alamin
Oleh : Ricky Valdy Syairuddin / AF4 / Mahasiswa Institud Studi Islam Darussalam (ISID) 
Tulisan dimuat di majalah Lentera Semester Genap 2012

Konsep Rahmatan Lil’alamin agama islam
Memang benar agama islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Namun banyak orang yang salah kaprah dalam menafsirkannya. Sehingga banyak kesalahan dalam memahami praktek beragama bahkan dalam hal yang fundamental yaitu akidah.
Pernyataan bahwa islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
“Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta”.[1]
            Tugas Nabi Muhammad adalah membawa rahmat bagi sekalian alam, maka itu pulalah risalah agama yang dibawanya. Tegasnya, risalah Islam ialah mendatangkan rahmat buat seluruh alam. Lawan daripada rahmat ialah bencan dan malapetaka. Maka jika dirumuskan ke dalam bentuk kalimat yang menggunakan kata peniadaan, kita lau mendapat pengertian baru tapi lebih tegas bahwa islam itu “bukan bencana alam”. Dengan demikian kehadiran Islam di alam ini bukan untuk bencana dan malapetaka, tetapi untuk keselamatan, untuk kesejahteraan dan untuk kebahagiaan manusia lahir dan batin, baik secara perseorangn maupun secara bersama-sama dalam masyarakat.
            Islam itu ibarat Ratu Adil yang menjadi tumpuan harapan manusia. Ia harus mengangkat manusia dari kehinaan menjadi mulia, menunjuki manusia yang tersesat jalan. Membebaskan manusia dari semua macam kezhaliman, melepaskan manusia dari rantai perbudakan, memerdekakan manusia dari kemiskinan rohani dan materi, dan sebagainya. Tugas Islam memberikan dunia hari depan yang cerah dan penuh harapan. Manusia akhirnya merasakan nikmat dan bahagia karena Islam.
            Kebenaran risalah Islam sebagai rahmat bagi manusia, terletak pada kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam adalah dalam satu kesatuan ajaran, ajaran yang satu dengan yang lainnya mempunyai nisbat dan hubungan yang saling berkait. Maka Islam dapat kita lihat serempak dalam tiga segi yaitu aqidah, syari’ah dan nizam.
            Dalam satu tinjuan, Islam adalah suatu aqidah atau keyakinan. Mulai daripada Islam itu sendiri secara totalitas adalah suatu keyakinan, bahwa nilai-nilai yang diajarkan kebenarannya mutlak karena bersumber dari yang Maha Mutlak. Maka segala yang diperintahkannya dan diizinkannya adalah suatu yang haq
            “Dan carilah karunia yang Allah berikan kepadamu untuk keselamtan bagi negri akhirat, tapi janganlah engkau lupakan masalahmu di dunia. Dan ciptakanlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, janganlah engkau berbuat kerusuhan di bmi, karena sesungguhnya Allah tidak senang bagi orang-orang yang berbuat rusuh”. [2]
            Yang menjadi tantangan besar umat Islam masa kini adalah Islam belum lagi terwujud risalahnya, ia belum lagi menjadi rahmat bagi manusia. Karenanya kita harus mengadakan koreksi total terhadap cara-cara hidup kita, baik dalam bidang ubudiyah maupun dalam bidang mu’amalah.[3]
            Umat Islam dilarang menjadi umat pengekor, tetapi sebagai pengendali. Tidak pula boleh menjadi gerobak yang ditarik ke mana-mana, tetapi sebagai lokomotip yang menarik dan bertenaga besar. Islam tidak condong ke Barat dan tidak pula miring ke Timur, tapi Islam tampil ke tengah-tengah mengajak seluruh benua, ras dan bangsa untuk berkiblat kepadanya. Islamlah yang harus memimpin jalannya sejarah menuju kepada hidup dan kehidupan yang bahagia (hayatun thayyibatun) dalam rangka masyarakat yang sejahtera dan bahagia di bawah naungan ampunan Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun ghofuur). Betapa tinggi fungsi umat Islam di tengah-tengah kancah kehidupan manusia Allah berfirman :
            “Kamu adalah umat yang paling baik, yang ditempatkan ke tengah-tengah manusia, untuk memimpin kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan percaya penuh kepada Allah”.[4]
Pandangan Islam AtasBerbagaiRasdan Agama
            Dalam agama Islam memandang agama-agama lain dan berbagai ras pun mempunyai konsep yang baik. Islam sebagai konstitusinya juga mewajibkan perdamaian antar manusia. Ia menyatakan mengapa manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tiada lain untuk memudahkan saling berkenalan dan saling berdekatan antara sesama manusia, bukan menjadikan jalan agar sebagian manusia itu lebih tinggi dari yang lainnya, dan agar sebagian manusia itu dapat menjadikan dirinya tuhan.
            Orang mukmin mencintai segenap manusia, karena mereka adalah saudaranya, sama-sama keturunan Adam dan teman karibnya dalam mengabdikan diri kepada Allah. Antara dia dengan mereka diikat oleh pertalian darah, tujuannya sama dan musuhnya pun sama. Allah SWT menegaskan :
            “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.”[5]
            Akidah Islam tidak membenarkan perbedaan darah dan perbedaan suku, ras,  bangsa dijadikan alasan untuk saling berpecahbelah. Seorang muslim mempercayai, bahwa seluruh umat manusia adalah keturunan Adam. Dan Adam diciptakan dari tanah. Perbedaan suku, bangsa, dan warna kulit, adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan dan kebijaksanaan Allah, dalam menciptakan dan mengatur makhluk-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :
            ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa kalian dan warna kulit kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”[6]
            Bagaimana mungkin seorang muslim akan merendahkan suatu bangsa dari bangsa-bangsa manusia, sedangkan al-Quran mengajarkan supaya menghormati segenap makhluk, baik bangsa, binatang ataupun burung.
            “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan (umat-umat) juga seperti kalian. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun.”[7]
            Demikianlah pandangan orang mukmin terhadap umat manusia. Tiada perasaan kebanggaan tentang nasab, tempat kelahiran, tidak ada perasaan dengki antara kelompok satu dengan yang lain, antara individu satu dengan yang lain. Yang ada hanyalah perasaan cinta kasih, persamaan dan persaudaraan.[8]
Pengaruh Rahmatan Lil’alamin Bagi Non Muslim
            Dalam memperlakukan non muslim (Ahli Dzimmah) mereka mendapatkan hak seperti yang didapatkan oleh kaum Muslimin, kecuali pada perkara-perkara yang terbatas dan perkecualian. Sebagaimana halnya juga mereka dikenakan kewajiban seperti yang dikenakan terhadap kaum Muslimin. Kecuali pada apa-apa yang diperkecualikan. Ialah hak memperoleh perindungan yaitu melindungi mereka dari segala permusuhan eksternal. Ijma’ Ulama umat Islam terjadi dalam hal ini seperti yang diriwayatkan Abu Daud dan Al-Baihaqi
            “Siapa-siapa yang menzhalimi kafir mu’ahad atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar kesanggupannya, atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa kerelaannya, maka akulah yang menjadi seterunya pada hari Kiamat (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi)
Kemudian melindungi darah dan badan mereka, melindungi harta mereka, menjaga kehormatan mereka, memberikan jaminan sosial ketika dalam keadaan lemah, kebebasan beragama, kebebasan bekerja, berusaha dan menjadi pejabat, inilah beberapa contoh dan saksi-saksi yang dicatat sejarah mengenai sikap kaum Muslimin dan pengaruhnya terhadap Ahli Dzimmah.[9]
Islam Bukan Agama Teroris
            Islam memang agama yang menyebarkan benih-benih kasih sayang, cinta dan damai. Islam secara eksklusif bukan berarti terorisme, tetapi eksklusif dalam pengertian akidah. Yaitu mempercayai dan meyakini bahwa Islam agama yang benar. Dan itu harga mati di dalam akidah setiap Muslim. Dan bukan berarti Terorisme. Nah, secara inklusifnya Islam sendiri mewajibkan umatnya untuk bertoleran sesama manusia. Dan ini tidak bisa diartikan dengan Pluralisme agama.
            Yusuf Qardhawi menyatakan bahwasanya tujuan Islam adalah membangun manusia yang shalih. Tidak mungkin Islam menyebarkan benih-benih terorisme. Dan bila “jihad” dalam pengertian islam adalah menyeru kepada agama yang benar, berusaha semaksimal mungkin baik dengan perkataan ataupun perbuatan dalam berbagai lapangan kehidupan dimana agama yang benar ini diperjuangkan dan dengannnya ia memperoleh kemenangan maka ia, tentunya lebih luas ketimbang “perang” bahkan terorisme.[10]
            Dengan Islam yang Rahmatan lil’alamin ini, kita telah dapat memberikan kesimpulan bahwa Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi suatu perdaban yang di dalamnya terdapat pandangan hidup (framework) yang jelas dan universal dalam hal kebenaran.



Referensi
1.      Drs Nasruddin Razak, Dienul Islam, Bandung, Al-Ma’arif 1986
2.      Musthafa Muhammad Ath-Thahhan, Pribadi Muslim Tangguh, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2000
3.       Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama Konflik dan Nirkekerasan, Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta 2002
4.      Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, Jakarta 1994
5.      Dr. Yusuf Al-Qardhawy, Pengantar Kajian Islam, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2002



[1]Al-Anbiya :107
[2]Al-Qashash (28) : 77
[3]Drs. Nasruddin Razak,  Dienul Islam, Bandung Alma’arif 1986, hal 84
[4] Al-Imran (3) : 110
[5]An-Nisa (4) : 1
[6]Ar-Ruum (30) : 22
[7]Al-An’am (6) : 38
[8]Dr. Yusuf Qardhawi,  Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta  Mitra Pustaka 1999, hal 157
[9]Musthafa Muhammad Ath-Thahhan, Pribadi Muslim Tangguh, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2000 hal 286
[10]Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, Jakarta 1994 hal 413