Fenomenologi sebagai Satu Paradigma Keilmuan Sosial
(Tela’ah Pemikiran Edmund Husserl)
Ricky
Valdy
Alumni
S1 Prodi Ilmu Aqidah dan Filsafat Islam Fak. Ushuluddin
Universitas Darussalam Gontor
Abstrak
Sebagai salah
satu tema yang banyak mendapatkan perhatian dalam isu filsafat modern adalah
Fenomenologi. Fenomenologi adalah sebuah paradigma baru di zaman modern yang menawarkan
fenomen-fenomen yang mempunyai keterkaitan hubungan antara manusia dengan
realitas. Edmund Husserl, memberikan paradigmanya dalam memandang realitas
sosial atas pembacaan kritiknya terhadap positivisme-nya Auguste Comte yang
merambah kajiannya pada ilmu sosial yang objek kajiannya sangat jauh dari
kajian ilmu-ilmu alam. Makalah ini adalah upaya untuk menela’ah paradigma baru Edmund Husserl di
abad modern yaitu Fenomenologi sebagai ilmu yang melihat realitas apa adanya.
Abstrak
As one of the
many themes that get a lot of attention on modern issues of philosophy is
Phenomenolgy. As a new paradigm in modern era, phenomenology offers
phenomenon’s that has connection between human and reality. Edmund Husserl,
gives his paradigm in view of social reality as reading criticism of Auguste
Comte Positivism’s which is the object of social science spread away of natural
science. This paper is a way to discuss a new paradigm of Edmund Husserl in
modern era that phenomenology as a science that view the reality of what it is.
Pendahuluan
Perkembagan
ilmu pengetahuan tidak lepas dari paradigma yang menjadi dasarnya. Paradigma
memberikan gambaran mengenai kerangka kerja ilmiah dalam meneliti dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, paradigma juga memberikan dasar
untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem
riset. Dengan begitu, paradigma menjadi sebuah kajian dimana anlisis dan kritik
terhadap ilmu pengetahuan terjadi. Begitu pentingnya peran paradigma, sehingga
para ilmuwan selalu berkerja dengan menggunakan paradigma tertentu. Karena
dengan paradigma tersebut, seorang ilmuwan mampu memecahkan kesulitan yang
dihadapinya dalam kerangka kerja ilmiahnya, sehingga menimbulkan sebuah
perubahan mendasar dalam usahanya mengembangkan suatu ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan kegiatan ilmiah tersebut pada akhirnya memunculkan berbagai
macam keyakinan dasar yang darinya melahirkan paradigma-paradigma. Dimulai
dengan Rasionalisme yang dicetuskan oleh Rene Descartes dengan dictum “cogito
ergo sum”, kemudian Empirisme yang diprakarsai oleh Francis Bacon
(1561-1626) atas ketidaksetujuannya terhadap Rasionalisme karena menjadikan
rasio satu-satunya sumber pengetahuan. Empirisisme menegaskan bahwa
pengalaman-lah sumber pengetahuan. Kemudian Immanuel Kant mencoba mendamaikan
keduanya dengan Kritisismenya, dan kemudian disusul dengan positivisme Auguste
Comte dan selanjutnya intuisionisme dimana Edmund Husserl sebagai tokoh utamanya.
Asumsi-asumsi dasar ini akan menjadi pondasi dalam paradigma-paradigma yang
digunakan oleh para ilmuwan.
Dari berbagai
macam paradigma yang ada, positivisme disebut sebagai sebuah alat analisis
terlama (tidak kurang dari 400 tahun) yang mencoba mengkaji masalah sosial
dengan hukum-hukum alam. Paradigma yang dipopulerkan oleh Auguste Comte ini
meghantarkannya menjadi seorang bapak Sosiologi modern. Kecenderungannya dalam
ilmu alam, membuatnya ingin mencoba mengaplikasikan hukum-hukum alam yang ia
temukan dalam kajian ilmu sosial. Akan tetapi, paradigma ini mendapatkan kritik tajam dari
tokoh setelahnya, yaitu Husserl. Ia mengkritik positivisme Comte yang merambah
medan kajiannya pada ilmu-ilmu sosial yang objek kajiannya sangat jauh berbeda
dari ilmu-ilmu alam. Dari sanalah ia menawarkan satu paradigma baru yang
dikenal sebagai fenomenologi.
Dalam makalah singkat ini, akan dipaparkan bagaimanakah
kerangka dasar dari konsep paradigma fenomenologi ini, kemudian dilanjutkan
dengan penjelasan konsep pening sebagai langkah dalam mengaplikasikan paradigma
tersebut terhadap ilmu sosial.
Biografi Singkat Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) dilahirkan di kota kecil
Prosznitz di daerah Moravia yang pada waktu itu merupakan bagian dari wilayah
kekaisaran Austria Hongaria, namun setelah akhir perang dunia pertama 1918
sampai sekarang masuk ke dalam wilayah Cekoslovakia. Pada awalnya, ia belajar ilmu pasti di universitas di Leipzig,
Berlin, dan Wina seperti matematika, fisika, astronomi, dan filsafat. Dalam
beberapa waktu, ia sempat terkenal sebagai orang yang ahli dalam bidang
matematika di Berlin. Namun keahliannya di bidang matematika tidak
menghalanginya untuk terus menekuni bidang filsafat. Ia menekuni bidang
filsafat di bawah arahan Brentano, dan akhirnya Husserl sebagai seorang
muridnya banyak dipengaruhi oleh Brentano[1],
yang mempunyai pengaruh besar di Universitas Wina. Suatu tempat yang mempunyai
peran memadukan pemikiran skolastik dan empirisisme. Pola pikir Wina ini telah
mempengaruhi Husserl yang ditandai dengan adanya ajaran intensionalitas.
Pengaruh itu
juga diakui oleh Mary Warnoct dengan berpendapat bahwa: Husserl as well known,
referred to this program as the origin of phenomenology : his conversion of the
scholastic concept of intentionality into a descriptive root-concept of
psychology constitutes a great discovery (Huibers, 1986:11). Minatnya di
bidang filsafat ini diteguhkan dengan pengambilan jurusan doktornya dalam
bidang filsafat, yaitu filsafat matematika dengan judul disertasi Beitra gezur
Variationsrechnung pada tahun 1883. Wawasannya di bidang Pemikiaran
Fenomenologi Edmund Husserl matematika ini diperluas setelah ia menjadi dosen.
Namun demikian, hasil karyanya setelah dipublikasikan justru banyak mendapat
kritik.
Karenanya, ia
lalu melakukan kajian ulang dan akhirnya ia menelorkan suatu karya Logische
Untersuchungen, 1900-1901 (Penelitian-penelitan tentang logika). Karya tersebut
disusul dengan karya-karya berikutnya seperti, Ideen zu einer reinen
Phanomenologie und phanomenologischen Philosophie 1913 (Scruton, 1995: 252),
Formale und tranzendentale Logik 1929, Erfahrung und Urteil 1930 (Berten, 1995:
95). Pada akhir masa hidupnya, Husserl menghadapi berbagai rintangan disebabkan
karena ia adalah keturunan Yahudi dan kemudian ia diberhentikan dari jabatannya
sebagai Dosen di Universitas Feiburg.[2]
Husserl dan
Fenomenologi
Husserl
dikenal dengan filsuf fenomenologi. Istilah Fenomenologi itu sediri berasal
dari kata Inggris (phenomenon) dan Yunani, phainomenon, yaitu apa
yang tampak. Fenomen mempunyai pengertian suatu obyek atau gejala yang tampak
pada kesadaran kita secara indrawi[3].
Dalam arti sempit, fenomenologi adalah ilmu tentang gejala yang menampakkan
diri pada kesadaran kita. Dalam arti luas, fenomenologi adalah ilmu tentang
fenomen-fenomen atau apa saja yang tampak. Fenomenologi merupakan sebuah
pendekatan filsafat yang memusatkan diri pada analisis terhadap gejala yang
membanjiri kesadaran manusia[4].
Akan tetapi,
sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Husserl sebagai seorang filsuf
berkebangsaan Jerman, pemikirannya pun sedikit-banyak
terpengaruh oleh pemikir-pemikir lain sebelumnya di Negara tersebut. Ini dapat
dilihat bahwa istilah serta perbincangan mengenai fenomenologi sudah ada
sebelum Husserl. Adalah J.H Lambert seorang tokoh filsafat berkebangsaan Jerman
disebut orang yang pertama kali menggunakan istilah ini dalam karyanya Neue
Organon (Leipzig, 1764). Lambert memakai istilah fenomenologi untuk
menyatakan teori penampakan fundamental terhadap semua pengetahuan empirik[5].
Di sisi lain, Immanuel
Kant menamakan bagian keempat dari karyanya dengan Metaphysical Principles
of Natural Science sabagai Phenomenology. Ia mengurai gerak dan diam
sebagai karakteristik umum yang menandai adanya setiap gejala. Ia juga
menyiratkan adanya perbedaan dengan Husserl dalam mengartikan fenomena. Menurut
Kant, fenomena adalah bagian dari nomena. Logika berpikir ini dipakai Kant untuk
mengatasi kekacauan pemikiran yang mencampuradukkan antara obyek dari rasio
murni dan obyek dari rasio praktis. Kant berpendapat, bahwa manusia hanya dapat
mengenal fenomena-fenomena yang tampak, bukan noumena yaitu realitas di luar
kesadaran manusia.[6]
Adapun Hegel dalam Phenomenology of the Spirit menggunakanya untuk
merinci tahap-tahap yang meningkatkan manusia Barat pada akal budi universal.
Walaupun demikian,
fenomenologi menjadi salah satu metode dalam kajian filsafat dan aliran
epistemologi baru ada ketika berada di tangan Husserl.[7] Lantas
tugas utama fenomenologi menurut Husserl untuk menjalin keterkaitan antara
manusia dengan realitas. Hal ini digunakan agar fenomenologi dapat melihat
realitas apa adanya, dengan tidak tercampur oleh asumsi-asumsi dan
prasangka-prasangka manusia sebelum melihat realitas.[8]
Lebih lanjut,
guna mengetahui pandangan Husserl mengenai fenomenologi serta penerapannya
dalam melihat ilmu-ilmu sosial. Setidaknya kita harus mengetauhi dua metode
penting di dilamanya, pertama prinsip epoche dan eidict vision, kedua mengenai
konsep lebenswelt (dunia-kehidupan)
Prinsip Epoche
dan Eidict Vision
Metode epoche
ini merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda
putusan lebih dahulu. Baru setelah itu menyaring fenomena-fenomena yang ada,
agar kita dapat sampai pada intisari dari fenomena tersebut, inilah yang
Husserl sebut eidict vision. Kata epoche sendiri berasal dari
bahasa Yunani, yang berarti menunda keputusan atau mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu. Ia juga dapat diartikan sebagai tanda kurung pada setiap
keterangan yang diperoleh dari setiap fenomena yang tampil, dengan tidak memberikan
putusan apakah fenomena terebut salah atau benar terlebih dahulu. Artinya,
Husserl melalui metode epoche nya ingin menjadikan fenomena apa adanya
bukan tercampur oleh asumsi-asumsi dan praduga-praduga yang datang dari
keyakinan-keyakinan tertentu ketika melihat realitas kehidupan.[9]
Dari sinilah selanjutnya keluar ungkapan terkenal dari seorang Husserl, yaitu zuruck
zu den sachen selbt (kembalilah pada realitas itu sendiri)
Epoche
sendiri memiliki empat macam, yaitu (1) Method of historical
bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan
yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama
maupun ilmu pengetahuan. (2) Method of existensional bracketing, meninggalkan
atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda, (3) Method
of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala
yang transcendental dalam kesadaran murni, dan (4) Method of eidetic
reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang
realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. Menerapkan empat metode
epoche, maka seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang
diamati.[10]
Setelah
melakukan pengamatan langsung terhadap realitas secara bebas (melihat realitas
apa adanya), barulah dilakukan penyaringan fenomena (realitas yang tampak).
Langkah kedua ini disebut juga eidetic vision-membuat ide, menggambarkan
idea atau dengan kata lain disebut juga sebaga “reduksi”, artinya menyaring
fenomena-fenoma tadi hingga akhirnya sampai kepada intisari fenomena tersebut.
Di sini Husserl menawarkan tiga tahap reduksi sebagaima dikutip oleh Rappar
dalam bukunya. Pertama adalah reduksi fenomenologis dengan cara
melakukan penyaringan pengalaman pertama yang terarah kepada eksistensi
fenomena. Pengalaman yang bersifat indrawi tidak dibuang begitu saja, tetapi
ditangguhkan dalam proses penyaringan sehingga tersingkirlah semua
bentuk-bentuk prasangka dan praanggapan.[11]
Yang kedua
reduksi eiditis.[12]
Ini dilakukan untuk menemukan hakikat fenomena yang tersembunyi. Pengamatan
terhadap fenomena dilakukan secara teliti agar supaya terungkap hakikat
fenomena yang sesungguhnya. Dalam proses ini, pengamat perlu mengarahkan diri
kepada isi yang paling mendasar dan segala sesuatu yang paling hakiki. Langkah
ini merupakan proses lebih lanjut dari langkah yang pertama.
Ketiga, reduksi
trasendental adalah menyisihkan dan menyaring semua Hubungan antara
fenomena-fenomena yang diamati dengan lainnya. Misalnya saja fenomena yang diamati itu adalah diri
kita sendiri. Kita harus menyadari bahwa
diri kita sendiri senantiasa memiliki hubungan dengan yang lainnya, yang berada di luar kita sendiri. Hubungan
yang demikian membuat kita senantiasa
berada dalam situasi tertentu, seperti kita sedang makan, sedang menulis, mandi
dan sebagainya. Reduksi ini harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan
kesadaran empiris sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada
keterhubungan dengan fenomena lainnya[13].
Konsep Dunia-Kehidupan
(Lebentswelt)
Dalam
dunia-kehidupan oleh pengertian Husserl dapat dipahami kurang lebih, dunia
sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar
subjek. Konsep ini sangat penting dalam kajian fenomenologi berkenaan dengan
kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial. Konsep ini pula dapat menjadi dasar ilmu
pengetahuan guna mengatasi problem yang sedang dihadapi ilmu pengetahuan akibat
pengaruh pola pikir positivistik.
Konsep lebentselt (dunia-kehidupan) sejatinya
memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan hayati pada
tahap-tahap yang paling primer. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang
membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan
hadapi sebelum kita meneorikan atau mereflesikannya secara filosofis. Dunia kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu
saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Sayangnya, dunia
kehidupan itu sudah dilupakan. Kita kerap memaknai kehidupan tidak secara apa
adanya, tetapi berdasarkan teori-teori, refleksi filosofis tertentu, atau
berdasarkan penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi
kehidupan, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Maka fenomenologi menyerukan zuruck
zu de sachen selbt (kembali kepada benda-benda itu sendiri), yaitu upaya
untuk menemukan kembali dunia kehidupan.[14]
Dalam kehidupannya dengan
ilmu sosial, memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan
mengenai konsep Lebenswelt (yang biasanya diterjemahkan, “dunia-kehidupan”).
Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan
atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk
menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmun
Husserl, dalam bukunya termasyhur, The Crisis of European Science and
Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep dunia-kehidupan
merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan
yang tengah mengalami krisis akibat ola pikir positivistik dan sainstistik itu.
Katanya: “dunia-kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan bagi ilmu
pengetahuan”[15]
Sebenarnya, kedua konsep
dalam paradigma fenomenologi di atas menjadikan adanya perbedaan antara
pendekatan (metode) terhadap apa itu ilmu-ilmu alam dan apa itu ilmu-ilmu
sosial. Ilmu-ilmu alam adlah ilmu-ilmu yang nomotetis, artinya penelitiannya
dilakukan guna mendapatkan atau menghasilkan hukum-hukum dari objek kajiannya. Sedangkan
ilmu-ilmu sosial adalah kebalikan dari ilmu alam. Ia bukan untuk mendapatkan
hukum-hukum melainkan finalnya adalah menggambarkan (idiografis) atau juga
melukiskan keunikan-keunikan yang terjadi pada objek realitas sosial yang ada.
Dari sanalah selanjutnya pendekatannya berbeda. Jika yang pertama dengan
pendekatan Erklären (menjelaskan), sedangkan yang kedua dengan Verstehen
(memahami) sebagimana diterangkan oleh Dilthey.[16]
Penutup
Metode Fenomenologi yang dibawa oleh Husserl secara tidak
langsung merupakan tanggapan atu kritik terhadap problem keilmuan modern yang
dianggap problematik oleh sebab pengaruh besar paradigma positivisme Auguste
Comte, dimana ia hanya melihat apa yang tampak (positif) dan mengabaikan aspek
lainnya. Ini diperparah ketika Comte masuk tidak hanya pada ranah ilmu-ilmu
alam, tetapi juga ilmu sosial yang sudah dipastikan objek kajiannya jauh berbeda dari ilmu alam itu sendiri. Dari situ, sejauh ini metode ini yang
baik digunakan untuk menerengkan sesuatu-pada kajian sosial khususnya adalah metode
fenomenologi. karena kita akan mendapatkan gambaran umum dan mendalam dari
objek yang ingin kita teliti atau ketahui berdasarkan penampakkan-penampakkan
pada diri objek. Dan penampakkan-penampakkan yang dimaksudkan dalam metode
fenomenologi merupakan penampakkan yang sama sekali baru. Dalam arti tidak ada
tirai yang menghalangi suatu realitas itu untuk menampakkan diri. Dan karena
realitas yang muncul itulah maka kita berkesadaran. Fenomenologi ini jua yang
pada akhirnya menjadikan filsafat ilmu merambah dan teraplikasikan tidak hanya
pada karakter ilmiah ilmu-ilmu alam tetapi juga dapat diterapkan pada ranah
sosial.
Selanjutnya, metode yang dibawa oleh Husserl ini
menjadikan dua pendekatan, yaitu Prinsip Epoche dan Eidict Vision dan Konsep
Dunia Kehidupan (Lebentswelt). Keduanya ini sebagai jalan untuk dapat
memahami apa sebenarnya yang terjadi pada realitas secara apa adanya. Oleh
karena objeknya yang berbeda dari ilmu alam, ia tidak bisa menghukumi hasil
kajian dan hanya pada tataran menerangkan keunikan-keunikan realitas objeknya
saja.
Daftara Pustaka
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (PT Gramedia, Jakarta, 2005),
cetakan keempat
Donald M, Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 7),
(United States of America, Thomson Gale, 2006)
Hadiwijono, Hasan, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, (Yohjakarta: Kanisius, 1993)
Kenny, Anthony, A New History of Western
Philosophy: Philosophy in the Modern World, Vol IV, (Oxford: Oxford
University Press, 2007)
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas
Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:
Belukar, Cet 8, 2014)
Rachman, Budhy Munawar, Fenomenologi Diri
dan Konstruk Sosial Mengenal Kebudayaan Edmund Husserl dan Jejak-jejaknya pada
Maurice Merleau-Ponty dan Peter Berger, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol
1, No. 6, Juli, 2013
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1996)
Woodruff Smith, Barry Smith & David, Husserl’s
Place in the iin the Hs in the Historyin the History of Philosophy dalam The
Cambridge Companion to Husserl, (Cambridge: Cambridge University Press,
1999),
Zubaidi, Mohammad Muslih dan Sujiat, Kritik
Epistemologi & Model PembacaanKontemporer, (Yogyakarta: LESFI, 2013),
[1]Budhy Munawar Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruk Sosial Mengenal
Kebudayaan Edmund Husserl dan Jejak-jejaknya pada Maurice Merleau-Ponty dan
Peter Berger, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol 1, No. 6, Juli, 2013, p.
493.
[2]Semua bagian tentang biografi ringkasnya diambil dari David Woodruff Smith,
Husserl, (USA: Routladge, 2007), p. 11-39. Lihat juga Barry Smith &
David Woodruff Smith, Husserl’s Place in the iin the Hs in the Historyin the
History of Philosophy dalam The Cambridge Companion to Husserl,
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), p. 1.
[6]Mohammad Muslih dan Sujiat Zubaidi, Kritik Epistemologi & Model
PembacaanKontemporer, (Yogyakarta: LESFI, 2013), p. 115.
[8]Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, Cet 8, 2014), p.
145.
[9]Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy: Philosophy in the
Modern World, Vol IV, (Oxford: Oxford University Press, 2007) , p. 162
[10]Lihat Hasan
Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yohjakarta: Kanisius, 1993),
Cet. Ke 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar