Minggu, 24 Juni 2012

Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil’alamin


Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil’alamin
Oleh : Ricky Valdy Syairuddin / AF4 / Mahasiswa Institud Studi Islam Darussalam (ISID) 
Tulisan dimuat di majalah Lentera Semester Genap 2012

Konsep Rahmatan Lil’alamin agama islam
Memang benar agama islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Namun banyak orang yang salah kaprah dalam menafsirkannya. Sehingga banyak kesalahan dalam memahami praktek beragama bahkan dalam hal yang fundamental yaitu akidah.
Pernyataan bahwa islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
“Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta”.[1]
            Tugas Nabi Muhammad adalah membawa rahmat bagi sekalian alam, maka itu pulalah risalah agama yang dibawanya. Tegasnya, risalah Islam ialah mendatangkan rahmat buat seluruh alam. Lawan daripada rahmat ialah bencan dan malapetaka. Maka jika dirumuskan ke dalam bentuk kalimat yang menggunakan kata peniadaan, kita lau mendapat pengertian baru tapi lebih tegas bahwa islam itu “bukan bencana alam”. Dengan demikian kehadiran Islam di alam ini bukan untuk bencana dan malapetaka, tetapi untuk keselamatan, untuk kesejahteraan dan untuk kebahagiaan manusia lahir dan batin, baik secara perseorangn maupun secara bersama-sama dalam masyarakat.
            Islam itu ibarat Ratu Adil yang menjadi tumpuan harapan manusia. Ia harus mengangkat manusia dari kehinaan menjadi mulia, menunjuki manusia yang tersesat jalan. Membebaskan manusia dari semua macam kezhaliman, melepaskan manusia dari rantai perbudakan, memerdekakan manusia dari kemiskinan rohani dan materi, dan sebagainya. Tugas Islam memberikan dunia hari depan yang cerah dan penuh harapan. Manusia akhirnya merasakan nikmat dan bahagia karena Islam.
            Kebenaran risalah Islam sebagai rahmat bagi manusia, terletak pada kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam adalah dalam satu kesatuan ajaran, ajaran yang satu dengan yang lainnya mempunyai nisbat dan hubungan yang saling berkait. Maka Islam dapat kita lihat serempak dalam tiga segi yaitu aqidah, syari’ah dan nizam.
            Dalam satu tinjuan, Islam adalah suatu aqidah atau keyakinan. Mulai daripada Islam itu sendiri secara totalitas adalah suatu keyakinan, bahwa nilai-nilai yang diajarkan kebenarannya mutlak karena bersumber dari yang Maha Mutlak. Maka segala yang diperintahkannya dan diizinkannya adalah suatu yang haq
            “Dan carilah karunia yang Allah berikan kepadamu untuk keselamtan bagi negri akhirat, tapi janganlah engkau lupakan masalahmu di dunia. Dan ciptakanlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, janganlah engkau berbuat kerusuhan di bmi, karena sesungguhnya Allah tidak senang bagi orang-orang yang berbuat rusuh”. [2]
            Yang menjadi tantangan besar umat Islam masa kini adalah Islam belum lagi terwujud risalahnya, ia belum lagi menjadi rahmat bagi manusia. Karenanya kita harus mengadakan koreksi total terhadap cara-cara hidup kita, baik dalam bidang ubudiyah maupun dalam bidang mu’amalah.[3]
            Umat Islam dilarang menjadi umat pengekor, tetapi sebagai pengendali. Tidak pula boleh menjadi gerobak yang ditarik ke mana-mana, tetapi sebagai lokomotip yang menarik dan bertenaga besar. Islam tidak condong ke Barat dan tidak pula miring ke Timur, tapi Islam tampil ke tengah-tengah mengajak seluruh benua, ras dan bangsa untuk berkiblat kepadanya. Islamlah yang harus memimpin jalannya sejarah menuju kepada hidup dan kehidupan yang bahagia (hayatun thayyibatun) dalam rangka masyarakat yang sejahtera dan bahagia di bawah naungan ampunan Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun ghofuur). Betapa tinggi fungsi umat Islam di tengah-tengah kancah kehidupan manusia Allah berfirman :
            “Kamu adalah umat yang paling baik, yang ditempatkan ke tengah-tengah manusia, untuk memimpin kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan percaya penuh kepada Allah”.[4]
Pandangan Islam AtasBerbagaiRasdan Agama
            Dalam agama Islam memandang agama-agama lain dan berbagai ras pun mempunyai konsep yang baik. Islam sebagai konstitusinya juga mewajibkan perdamaian antar manusia. Ia menyatakan mengapa manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tiada lain untuk memudahkan saling berkenalan dan saling berdekatan antara sesama manusia, bukan menjadikan jalan agar sebagian manusia itu lebih tinggi dari yang lainnya, dan agar sebagian manusia itu dapat menjadikan dirinya tuhan.
            Orang mukmin mencintai segenap manusia, karena mereka adalah saudaranya, sama-sama keturunan Adam dan teman karibnya dalam mengabdikan diri kepada Allah. Antara dia dengan mereka diikat oleh pertalian darah, tujuannya sama dan musuhnya pun sama. Allah SWT menegaskan :
            “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.”[5]
            Akidah Islam tidak membenarkan perbedaan darah dan perbedaan suku, ras,  bangsa dijadikan alasan untuk saling berpecahbelah. Seorang muslim mempercayai, bahwa seluruh umat manusia adalah keturunan Adam. Dan Adam diciptakan dari tanah. Perbedaan suku, bangsa, dan warna kulit, adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan dan kebijaksanaan Allah, dalam menciptakan dan mengatur makhluk-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :
            ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa kalian dan warna kulit kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”[6]
            Bagaimana mungkin seorang muslim akan merendahkan suatu bangsa dari bangsa-bangsa manusia, sedangkan al-Quran mengajarkan supaya menghormati segenap makhluk, baik bangsa, binatang ataupun burung.
            “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan (umat-umat) juga seperti kalian. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun.”[7]
            Demikianlah pandangan orang mukmin terhadap umat manusia. Tiada perasaan kebanggaan tentang nasab, tempat kelahiran, tidak ada perasaan dengki antara kelompok satu dengan yang lain, antara individu satu dengan yang lain. Yang ada hanyalah perasaan cinta kasih, persamaan dan persaudaraan.[8]
Pengaruh Rahmatan Lil’alamin Bagi Non Muslim
            Dalam memperlakukan non muslim (Ahli Dzimmah) mereka mendapatkan hak seperti yang didapatkan oleh kaum Muslimin, kecuali pada perkara-perkara yang terbatas dan perkecualian. Sebagaimana halnya juga mereka dikenakan kewajiban seperti yang dikenakan terhadap kaum Muslimin. Kecuali pada apa-apa yang diperkecualikan. Ialah hak memperoleh perindungan yaitu melindungi mereka dari segala permusuhan eksternal. Ijma’ Ulama umat Islam terjadi dalam hal ini seperti yang diriwayatkan Abu Daud dan Al-Baihaqi
            “Siapa-siapa yang menzhalimi kafir mu’ahad atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar kesanggupannya, atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa kerelaannya, maka akulah yang menjadi seterunya pada hari Kiamat (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi)
Kemudian melindungi darah dan badan mereka, melindungi harta mereka, menjaga kehormatan mereka, memberikan jaminan sosial ketika dalam keadaan lemah, kebebasan beragama, kebebasan bekerja, berusaha dan menjadi pejabat, inilah beberapa contoh dan saksi-saksi yang dicatat sejarah mengenai sikap kaum Muslimin dan pengaruhnya terhadap Ahli Dzimmah.[9]
Islam Bukan Agama Teroris
            Islam memang agama yang menyebarkan benih-benih kasih sayang, cinta dan damai. Islam secara eksklusif bukan berarti terorisme, tetapi eksklusif dalam pengertian akidah. Yaitu mempercayai dan meyakini bahwa Islam agama yang benar. Dan itu harga mati di dalam akidah setiap Muslim. Dan bukan berarti Terorisme. Nah, secara inklusifnya Islam sendiri mewajibkan umatnya untuk bertoleran sesama manusia. Dan ini tidak bisa diartikan dengan Pluralisme agama.
            Yusuf Qardhawi menyatakan bahwasanya tujuan Islam adalah membangun manusia yang shalih. Tidak mungkin Islam menyebarkan benih-benih terorisme. Dan bila “jihad” dalam pengertian islam adalah menyeru kepada agama yang benar, berusaha semaksimal mungkin baik dengan perkataan ataupun perbuatan dalam berbagai lapangan kehidupan dimana agama yang benar ini diperjuangkan dan dengannnya ia memperoleh kemenangan maka ia, tentunya lebih luas ketimbang “perang” bahkan terorisme.[10]
            Dengan Islam yang Rahmatan lil’alamin ini, kita telah dapat memberikan kesimpulan bahwa Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi suatu perdaban yang di dalamnya terdapat pandangan hidup (framework) yang jelas dan universal dalam hal kebenaran.



Referensi
1.      Drs Nasruddin Razak, Dienul Islam, Bandung, Al-Ma’arif 1986
2.      Musthafa Muhammad Ath-Thahhan, Pribadi Muslim Tangguh, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2000
3.       Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama Konflik dan Nirkekerasan, Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta 2002
4.      Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, Jakarta 1994
5.      Dr. Yusuf Al-Qardhawy, Pengantar Kajian Islam, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2002



[1]Al-Anbiya :107
[2]Al-Qashash (28) : 77
[3]Drs. Nasruddin Razak,  Dienul Islam, Bandung Alma’arif 1986, hal 84
[4] Al-Imran (3) : 110
[5]An-Nisa (4) : 1
[6]Ar-Ruum (30) : 22
[7]Al-An’am (6) : 38
[8]Dr. Yusuf Qardhawi,  Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta  Mitra Pustaka 1999, hal 157
[9]Musthafa Muhammad Ath-Thahhan, Pribadi Muslim Tangguh, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2000 hal 286
[10]Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, Jakarta 1994 hal 413

Mempertajam Akidah Seorang Muslim


Oleh : Ricky Valdy Syairuddin / AF4 / Mahasiswa Institud Studi Islam Darussalam (ISID)

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 136, 
  
Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat seajuh-jauhnya.” (An-Nisa : 136)
Denganturunnya ayat diatas, orang-orang beriman senantiasa diperintahkan untuk menguatkan keimanan yang telah tertanam dalam hati mereka. Di samping itu, ayat ini diturunkan di Madinah dan bukan merupakan ayat yang pertama kali turun di sana. Dengan kata lain ayat ini turun setelah beberapa tahun Rasululah tinggal di Madinah. Hal ini memberi petunjuk kepada kita bahwa pembinaan akidah adalah aktivitas yang harus selalu menjadi prioritas dalam setiap saat.
Kita ketahui bahwa selama tiga belas tahun Rasulullah SAW berdakwah di Makkah, yang menjadi fokus garapan beliau adalah pengokohan akidah Islam pada dada-dada kaum muslimin serta mendakwahkannya kepada orang-orang yang masih kafir. Hal itu dapat kita lihat dari ayat-ayat Al-Quran yang turun selama di Makkah.             Namun ketika beliau hijrah ke Madinah dan memasuki fase pendirian negara dan penetapan hukum-hukum syariat bukan berarti pembinaan akidah ditinggalkan dan disisihkan. Pembinaan akidah tetap menjadi garapan yang utama, karena kekokohan akidahlah yang akan menjamin baiknya pelaksanaan syariat serta utuhnya eksistensi suatu negara Islam.
Dengan demikian pembahasan akidah adalah pembahasan yang harus selalu menjadi perhatian setiap kaum muslimin. Karena akidah merupakan rahasia hidup dan menafsirkan kepada manusia rahasia kehidupan dan kematian serta menjawab pertanyaan abadinya : “Darimana? Kemana? Dan mengapa?”
Akidah juga dibawa oleh semua Nabi yang diutus Allah dan diturunkan oleh semua kitab suci langit sebelum kitab-kitab itu mengalami distorsi, penyelewengan dan perubahan. Akidah juga merupakan hakikat abadi yang tidak mengalami proses evolusi dan tidak pernah berubah, yaitu akidah tentang Allah dan hubungan-Nya dengan alam ini, tentang alam nyata yang diperlihatkan kepada manusia dan tentang alam ghaib yang tidak diperlihatkan kepadanya, tentang hakikat kehidupan ini dan peran manusia di dalamnya serta nasib manusia setelah kehidupan dunia.
Sesungguhnya akidah Islam datang untuk memurnikan pemikiran Tauhid dan kesempurnaan akidah ilahiyah, dari segala hal yang mencorengnya sepanjang zaman dan ia hadir untuk memurnikan pemikiran tentang kenabiaan dan kerasulan dari pemahaman buruk yang menimpanya.
Dan akidah islam datang untuk memurnikan persepsi pemikiran tentang pembalasan di akhirat dari asumsi salah oleh orang-orang bodoh, manipulasi oleh orang-orang pintar, dan penyangkalan oleh kaum penghujat dan hujatan kaum penghujat.


Kebutuhan manusia terhadap akidah
            Allah memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian menciptakan keturunannya dari sari pati (air mani) dia menciptakan Adam, manusia pertama dari tangan-Nya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya, lalu darinya Dia ciptakan istrinya, Hawa. Dia ajarkan kepadanya nama-nama, lalu menyuruh malaikat agar bersujud kepadanya, maka mereka semua bersujud kecuali Iblis yang menolak. Dia melarangnya untuk makan dari satu pohon, namun dia lupa dan memakannya. Maka, dia telah berbuat maksiat dan durhaka karenanya. Lalu dia menerima beberapa kalimat dari Allah dan mengucapkannya, maka Allah menerima taubatnya, kemudian menurunkannya ke bumi sebagai khalifah setelah sebelumnya dia mempersiapkan bumi itu baginya, dan menyediakan segala apa yang ada di bumi untuk memenuhi kebutuhannya.
            Dalil-dalil akidah kita tentang manusia ini adalah kabar berita dari Penciptanya yang menjelaskan tentang manusia, tentang cara penciptaannya dan perkembang biakannya yang sampai kepada kita dari jalan yang mustahil bagi akal manusia untuk mendustakan dan mengingkarinya, yaitu firman-firman Allah SWT dalam kitab-Nya, Al-Quran yang mulia. Allah berfirman tentang penciptaan Adam, 

            “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (Al-Hijr : 26)

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shad : 71-72)
Dari surat Shad tersebut, betapa mulianya manusia sehingga Allah menyuruh seluruh ciptaannya untuk sujud kepada Adam yaitu manusia yang tercipta dari tanah tersebut. Maka menyembah kepada Allah serta melafazkan kesyukuran kepada Allah sudah menjadi keharusan yang harus dilakukan oleh seorang muslim dan mukmin.
Pandangan orang-orang Mukmin terhadap “manusia” sangat berbeda dengan pandangan orang-orang atheis.
Menurut orang-orang Mukmin, manusia diciptakan di langit dengan penciptaan langsung oleh Allah, dimana Allahmenciptakannya dengan tangan-Nya, lalu meniupkan kepadanya dari ruh ciptaan-Nya, kemudian mengajarkan kepadanya seluruh nama benda dan memerintahkan malaikat untuk bersujud kepadanya. Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk dan dikhususkan dengan kemuliaan di antara semua makhluk. Manusia itu haram darah dan harta bendanya kecuali dengan cara yang hak. Allah mengutus para rasul kepada mereka, menurunkan kitab-kitab agar mereka mencapai kesempurnaan dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah mengkabarkan kepada mereka tentang penciptaan, kejadian, kemuliaan dan tempat kembalinya. Juga tentang Pencipta dan nabi-nabi yang diutus kepada mereka.
Menurut teori orang-orang atheis manusia diciptakan dengan teori perkembangan dan pertumbuhan dalam seburuk-buruk bentuk, kemudian berangsur-angsur dalam jutaan tahun sehingga sampai menjadi seekor kera kemudian berkembang menjadi hewan yang lebih tinggi daripada kera dalam jutaan tahun, kemudian menjadi manusia setelah jutaan tahun. Demikianlah konsep penciptaan manusia dan perkembangan kejadiannya menurut kaum atheis, kelompok yang paling banyak kerusakan dan kefasikannya, dimana mereka adalah sumber kehancuran dan kebinasaan.
Sekarang, wahai orang-orang yang mempunyai akal, manusia yang mana yang lebih berhak untuk dimuliakan? dan manusia yang mana yang harus diakui sebagai manusia oleh semua manusia itu sendiri, manusia menurut orang-orang mukmin ataukah manusia menurut orang-orang atheis, para pengikut teori Darwin?
Sungguh teori Darwin tentang kejadian manusa adalah kerancuan pemikiran, tidak bisa difahami dan merupakan racun bagi otak. Sebab teori itu adalah teori yang sesat, rusak dan kotor, yang bapaknya adalah kekufuran dan ibunya adalah kotoran.
Telah dijelaskan konsep penciptaan manusia yang begitu dahsyatnya. Memang pantas dan benar bahwa agama islam adalah agama yang sempurna. Seperti dalam surat Al-Imron ayat 9 :
  
“Agama yang diridhoi oleh Allah adalah islam”

Allah telah menciptakan alam semesta ini sebagai kebutuhan manusia supaya manusia dapat menggunakan akalnya dalam menggunakan alam ini dengan sebaik-baiknya. Tetapi masih saja dari manusia yang menentang dengan kekuasaannya. Seperti firman Allah SWT dalam surat Lukman ayat 20 :
  
Yang artinya : “Tidakkah kamu perhatikan, sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir batin. Dan diantara amnusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (Lukman : 20)

Apabila orang-orang Barat menyimpulkan bahwa problematika dasar ekonomi pada menurunnya sumber daya alam sebagai akibat membludaknya populasi manusia, maka Al-Quran melihat sebaliknya bahwa nikmat Allah tidak mungkin dapat dihitung, dan bahwa sumber-sumber alam sangatlah subur, tetapi karena ini pulalah kemudian banyak manusia terperosok dalam kekufuran dan kezhaliman. Kezhaliman dan kufur nikmat itulah barangkali yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam alam dan berakibat pada sumber-sumber pendapatan manusia.
Anggapan bahwa manusia tidak lagi membutuhkan akidah adalah anggapan yang batil, karena bertentangan dengan kenyataan dan sejarah manusia yang panjang, yaitu sejarah semenjak manusia diturunkan ke bumi sampai abad sekarang ini. Di mana saja manusia berada dan kapan pum mereka hidup, tidak pernah bisa lepas dari akidah yang diyakininya, baik akidah yang lurus maupun yang batil.
Nilai tambah manusia dalam kehidupan sesungguhnya tidak dinilai atau ditentukan oleh unsur fisiknya, tetapi oleh unsur metafisiknya yang berupa ruh atau jiwa dan kualitas-kualitas internal lainnya. Bahkan dari nilainya bisa lebih mahal dari apa yang ada di fisik manusia.
Lalu apa yang menjadikan manusia mahal dan dihargai tinggi? Mengapa seseorang dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain padahal tubuhnya sama, warna kulit dan rambutnya sama, kelengkapan tubuhnya sama, mungkin pakaian juga sama. Ada dua orang berjalan bersama, yang satu pejabat dan seorang lagi ulama’ besar, tetapi penghormatan orang terhadap ulama’ lebih besar daripada pejabat. Di sini ada nilai tambah yang bukan bersifat fisik melainkan non-fisik (metafisik).
Orang yang mengapresiasikan unsur-unsur fisik maka yang dikejar dalam kehidupannya adalah hal-hal yang dapat memuaskan unsur-unsur tubuhnya. Sebaliknya, orang yang mengapresiasikan unsur metafisik tampak pada cara hidupnya yang mengutamakan kepuasan spritual, penghormatan terhadap nilai dan menjunjung tinggi moralitas.
Ada yang beranggapan dengan menyatakan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah menjadikan mereka tidak membutuhkan agama, karena agama adalah barang rongsokkan dan usang dalam kehidupan modern. Bahkan lebih jauhnya lagi bahwa manusialah yang menciptakan tuhan, bukan tuhan yang menciptakan manusia dan kehidupan di alam semesta ini. Anggapan dan argumen seperti ini adalah kebodohan dan kekufuran yang nyata, dan kelemahan akal yang tanpa batas.
Agar terbebas dari pemahaman yang rusak ini, kita membenarkannya dengan Tuhan yang diciptakan para penyembah berhala yaitu patung yang mereka buat dengan sendirinya lalu disembah. dan tidak bisa disamakan dengan Tuhan yang menciptakan manusia yang dalam hal ini agama islamlah yang memakainya.
Maka, sangatlah mustahil agama yang mereka ciptakan itu akam mampu meluruskan akhlak, memperbaiki jiwa, mendidik perasaan dan mensucikan ruh. Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tertipu, bodoh, sesat dan menyesatkan, Allah melaknati mereka, maka Dia membuat mereka tuli dan membutakan penglihatan mereka.
Dari sini dapat dinyatakan bahwa setiap umat yang ada di atas permukaan bumi, yaitu sejak manusia itu hidup tidak bisa lepas dari akidah dan agama. Demikianlah sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya.
 
“Dan tidak ada satu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan,” (Fathir : 24)








 Penutup
Sesungguhnya iman kepada semua rukunnya dituntut secara mutlak sebagaimana disebutkan dalam nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah, dimana Allah berfirman,


“hai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya dia telah sesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 136)

Dan Rasulullah SAW bersabda dalam menjawa pertanyaan tentang iman,
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والقدر خيره وشره.
“Iman adalah bila kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, dan takdir-Nya yang baik dan yang buruk.”
Tapi dengan mencermati hal-hal yang berkaitan dengan iman, seperti mencintai-Nya, mengagungkan-Nya dengan melakukan segala hal yang dicintai-Nya dan meninggalkan segala hal yang dilarang olehnya, maka iman merupakan saran dan bukan tujuan.
Karena itu sangat tepat bila dikatakan bahwa meskipun iman sebagai saran dan akidah adalah pedoman dalam beriman, namun ia harus direalisasikan dalam kehidupan karena keterkaitan istiqomah seseorang dengannya. Sebagai penjelasan hal tersebut adalah,
1.      Beriman kepada Allah adalah sarana untuk mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya, mencintai-Nya mengagungkan-Nya, menaati-Nya, takut dan taqarrub kepada-Nya dengan melakukan hal-hal yang dicintai-Nya dan menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, sebagai dalilnya adalah firman Allah,
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal : 1)
2.      Beriman kepada malaikat adalah saran untuk mengambil pelajaran tentang ketaatan mereka. Sebab mereka
“Tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim : 6)
Juga sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa malu dan merasa dekat dengan para malaikat. Sebab malaikat tidak pernah berpisah dengan manusia di kanan dan kirinya.
3.      Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah sarana untuk beriman kepada Allah dan mengetahui ilmu-Nya, nama-nama-Nya, janjidan ancaman-Nya, membenarkan para Rasul yang diutus dengannya dan mengetahui syariat-syariat Allah dan semua yang dicintai dan diridhai-Nya atau yang dibenci-Nya tentang keyakinanm ucapan dan perbuatan. Juga sarana untuk mengenali hal yang ghaib dan berbagai kondisi negeri akhirat.
4.      Beriman kepada para rasul adalah sarana mengetahui pelaksanaan syariat-syariat Allah dan tata cara ibadah kepada-Nya. Juga sarana untuk mencintai para rasul yang dapat membangkitkan semangat untuk menaati, mengikuti dan komitmen terhadap syariat-syariat mereka.
5.      Beriman kepada hari Kiamat adalah sarana untuk menjalankan kebaikan dan meniggalkan kemungkaran dengan adanya dorongan jiwa dalam mencintai apa yang di sisi Allah tentang kebaikan dunia dan akhirat, serta rasa taku terhadap siksa-Nya.
6.      Beriman kepada taqdir Allah adalah sarana untuk menghilangkan kegelisahan terhadap sesuatu yang terlewatkan dari kesenangan kehidupan dunia dan meninggalkan suka ria atas nikmat dunia yang mendorong kepada kesombongan. Juga sarana untuk kesabaran dan ketenangan.
berdasarkan keterangan di atas, maka tampak dengan jelas bahwa semua rukun iman yang merupakan akidah seorang mukmin akan menghasilkan buah yang khusus bagi seorang mukmin. Dengan memperhatikan semua itu, maka kita dapatkan bahwa iman adalah sarana untuk mendapatkan berbagai buah yang dihasilkan oleh setiap bagian dari iman. Sebagaimana kita dapatkan juga bahwa berbagai buah iman merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang paling mulia, yaitu kesempurnaan manusia dalam zat dan spritualitasnya seta kebahagiaanya di dunia maupun di akhirat. Serta dari iman ini dapat mempertajam akidah seorang muslim, sebab kesempurnaan dan kebahagian manusia berkaitan erat dengan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dimana ketaatan itu akan mensucikan jiwa dan menjadikan manusia ke negeri kedamaian (surga)
Allah berfirman,
“Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (A-Syams : 9-1









Refrensi
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Aqiidatul Mu’min, Madinah, Maktabah Al-Ulum wal Hikam, 1995
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Ri’aayatul biiah fii syarii’ati al islaam, Dar Asy-Syuruq, 2001
Muhammad Tholchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, jakarta, 2000