Minggu, 20 Maret 2016



Fenomenologi sebagai Satu Paradigma Keilmuan Sosial
(Tela’ah Pemikiran Edmund Husserl)

Ricky Valdy
Alumni S1 Prodi Ilmu Aqidah dan Filsafat Islam Fak. Ushuluddin
Universitas Darussalam Gontor 
Abstrak
Sebagai salah satu tema yang banyak mendapatkan perhatian dalam isu filsafat modern adalah Fenomenologi. Fenomenologi adalah sebuah paradigma baru di zaman modern yang menawarkan fenomen-fenomen yang mempunyai keterkaitan hubungan antara manusia dengan realitas. Edmund Husserl, memberikan paradigmanya dalam memandang realitas sosial atas pembacaan kritiknya terhadap positivisme-nya Auguste Comte yang merambah kajiannya pada ilmu sosial yang objek kajiannya sangat jauh dari kajian ilmu-ilmu alam. Makalah ini adalah upaya untuk  menela’ah paradigma baru Edmund Husserl di abad modern yaitu Fenomenologi sebagai ilmu yang melihat realitas apa adanya.
Abstrak
As one of the many themes that get a lot of attention on modern issues of philosophy is Phenomenolgy. As a new paradigm in modern era, phenomenology offers phenomenon’s that has connection between human and reality. Edmund Husserl, gives his paradigm in view of social reality as reading criticism of Auguste Comte Positivism’s which is the object of social science spread away of natural science. This paper is a way to discuss a new paradigm of Edmund Husserl in modern era that phenomenology as a science that view the reality of what it is.



Pendahuluan
Perkembagan ilmu pengetahuan tidak lepas dari paradigma yang menjadi dasarnya. Paradigma memberikan gambaran mengenai kerangka kerja ilmiah dalam meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, paradigma juga memberikan dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset. Dengan begitu, paradigma menjadi sebuah kajian dimana anlisis dan kritik terhadap ilmu pengetahuan terjadi. Begitu pentingnya peran paradigma, sehingga para ilmuwan selalu berkerja dengan menggunakan paradigma tertentu. Karena dengan paradigma tersebut, seorang ilmuwan mampu memecahkan kesulitan yang dihadapinya dalam kerangka kerja ilmiahnya, sehingga menimbulkan sebuah perubahan mendasar dalam usahanya mengembangkan suatu ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah tersebut pada akhirnya memunculkan berbagai macam keyakinan dasar yang darinya melahirkan paradigma-paradigma. Dimulai dengan Rasionalisme yang dicetuskan oleh Rene Descartes dengan dictum “cogito ergo sum”, kemudian Empirisme yang diprakarsai oleh Francis Bacon (1561-1626) atas ketidaksetujuannya terhadap Rasionalisme karena menjadikan rasio satu-satunya sumber pengetahuan. Empirisisme menegaskan bahwa pengalaman-lah sumber pengetahuan. Kemudian Immanuel Kant mencoba mendamaikan keduanya dengan Kritisismenya, dan kemudian disusul dengan positivisme Auguste Comte dan selanjutnya intuisionisme dimana Edmund Husserl sebagai tokoh utamanya. Asumsi-asumsi dasar ini akan menjadi pondasi dalam paradigma-paradigma yang digunakan oleh para ilmuwan.
Dari berbagai macam paradigma yang ada, positivisme disebut sebagai sebuah alat analisis terlama (tidak kurang dari 400 tahun) yang mencoba mengkaji masalah sosial dengan hukum-hukum alam. Paradigma yang dipopulerkan oleh Auguste Comte ini meghantarkannya menjadi seorang bapak Sosiologi modern. Kecenderungannya dalam ilmu alam, membuatnya ingin mencoba mengaplikasikan hukum-hukum alam yang ia temukan dalam kajian ilmu sosial. Akan tetapi, paradigma ini mendapatkan kritik tajam dari tokoh setelahnya, yaitu Husserl. Ia mengkritik positivisme Comte yang merambah medan kajiannya pada ilmu-ilmu sosial yang objek kajiannya sangat jauh berbeda dari ilmu-ilmu alam. Dari sanalah ia menawarkan satu paradigma baru yang dikenal sebagai fenomenologi.
Dalam makalah singkat ini, akan dipaparkan bagaimanakah kerangka dasar dari konsep paradigma fenomenologi ini, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan konsep pening sebagai langkah dalam mengaplikasikan paradigma tersebut terhadap ilmu sosial.

Biografi Singkat Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) dilahirkan di kota kecil Prosznitz di daerah Moravia yang pada waktu itu merupakan bagian dari wilayah kekaisaran Austria Hongaria, namun setelah akhir perang dunia pertama 1918 sampai sekarang masuk ke dalam wilayah Cekoslovakia. Pada awalnya, ia belajar ilmu pasti di universitas di Leipzig, Berlin, dan Wina seperti matematika, fisika, astronomi, dan filsafat. Dalam beberapa waktu, ia sempat terkenal sebagai orang yang ahli dalam bidang matematika di Berlin. Namun keahliannya di bidang matematika tidak menghalanginya untuk terus menekuni bidang filsafat. Ia menekuni bidang filsafat di bawah arahan Brentano, dan akhirnya Husserl sebagai seorang muridnya banyak dipengaruhi oleh Brentano[1], yang mempunyai pengaruh besar di Universitas Wina. Suatu tempat yang mempunyai peran memadukan pemikiran skolastik dan empirisisme. Pola pikir Wina ini telah mempengaruhi Husserl yang ditandai dengan adanya ajaran intensionalitas.
Pengaruh itu juga diakui oleh Mary Warnoct dengan berpendapat bahwa: Husserl as well known, referred to this program as the origin of phenomenology : his conversion of the scholastic concept of intentionality into a descriptive root-concept of psychology constitutes a great discovery (Huibers, 1986:11). Minatnya di bidang filsafat ini diteguhkan dengan pengambilan jurusan doktornya dalam bidang filsafat, yaitu filsafat matematika dengan judul disertasi Beitra gezur Variationsrechnung pada tahun 1883. Wawasannya di bidang Pemikiaran Fenomenologi Edmund Husserl matematika ini diperluas setelah ia menjadi dosen. Namun demikian, hasil karyanya setelah dipublikasikan justru banyak mendapat kritik.
Karenanya, ia lalu melakukan kajian ulang dan akhirnya ia menelorkan suatu karya Logische Untersuchungen, 1900-1901 (Penelitian-penelitan tentang logika). Karya tersebut disusul dengan karya-karya berikutnya seperti, Ideen zu einer reinen Phanomenologie und phanomenologischen Philosophie 1913 (Scruton, 1995: 252), Formale und tranzendentale Logik 1929, Erfahrung und Urteil 1930 (Berten, 1995: 95). Pada akhir masa hidupnya, Husserl menghadapi berbagai rintangan disebabkan karena ia adalah keturunan Yahudi dan kemudian ia diberhentikan dari jabatannya sebagai Dosen di Universitas Feiburg.[2]

Husserl dan Fenomenologi
            Husserl dikenal dengan filsuf fenomenologi. Istilah Fenomenologi itu sediri berasal dari kata Inggris (phenomenon) dan Yunani, phainomenon, yaitu apa yang tampak. Fenomen mempunyai pengertian suatu obyek atau gejala yang tampak pada kesadaran kita secara indrawi[3]. Dalam arti sempit, fenomenologi adalah ilmu tentang gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam arti luas, fenomenologi adalah ilmu tentang fenomen-fenomen atau apa saja yang tampak. Fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang memusatkan diri pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia[4].
Akan tetapi, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Husserl sebagai seorang filsuf berkebangsaan Jerman, pemikirannya pun sedikit-banyak terpengaruh oleh pemikir-pemikir lain sebelumnya di Negara tersebut. Ini dapat dilihat bahwa istilah serta perbincangan mengenai fenomenologi sudah ada sebelum Husserl. Adalah J.H Lambert seorang tokoh filsafat berkebangsaan Jerman disebut orang yang pertama kali menggunakan istilah ini dalam karyanya Neue Organon (Leipzig, 1764). Lambert memakai istilah fenomenologi untuk menyatakan teori penampakan fundamental terhadap semua pengetahuan empirik[5].
Di sisi lain, Immanuel Kant menamakan bagian keempat dari karyanya dengan Metaphysical Principles of Natural Science sabagai Phenomenology. Ia mengurai gerak dan diam sebagai karakteristik umum yang menandai adanya setiap gejala. Ia juga menyiratkan adanya perbedaan dengan Husserl dalam mengartikan fenomena. Menurut Kant, fenomena adalah bagian dari nomena. Logika berpikir ini dipakai Kant untuk mengatasi kekacauan pemikiran yang mencampuradukkan antara obyek dari rasio murni dan obyek dari rasio praktis. Kant berpendapat, bahwa manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang tampak, bukan noumena yaitu realitas di luar kesadaran manusia.[6] Adapun Hegel dalam Phenomenology of the Spirit menggunakanya untuk merinci tahap-tahap yang meningkatkan manusia Barat pada akal budi universal.
Walaupun demikian, fenomenologi menjadi salah satu metode dalam kajian filsafat dan aliran epistemologi baru ada ketika berada di tangan Husserl.[7] Lantas tugas utama fenomenologi menurut Husserl untuk menjalin keterkaitan antara manusia dengan realitas. Hal ini digunakan agar fenomenologi dapat melihat realitas apa adanya, dengan tidak tercampur oleh asumsi-asumsi dan prasangka-prasangka manusia sebelum melihat realitas.[8]
Lebih lanjut, guna mengetahui pandangan Husserl mengenai fenomenologi serta penerapannya dalam melihat ilmu-ilmu sosial. Setidaknya kita harus mengetauhi dua metode penting di dilamanya, pertama prinsip epoche dan eidict vision, kedua mengenai konsep lebenswelt (dunia-kehidupan)

Prinsip Epoche dan Eidict Vision
Metode epoche ini merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan lebih dahulu. Baru setelah itu menyaring fenomena-fenomena yang ada, agar kita dapat sampai pada intisari dari fenomena tersebut, inilah yang Husserl sebut eidict vision. Kata epoche sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang berarti menunda keputusan atau mengosongkan diri dari keyakinan tertentu. Ia juga dapat diartikan sebagai tanda kurung pada setiap keterangan yang diperoleh dari setiap fenomena yang tampil, dengan tidak memberikan putusan apakah fenomena terebut salah atau benar terlebih dahulu. Artinya, Husserl melalui metode epoche nya ingin menjadikan fenomena apa adanya bukan tercampur oleh asumsi-asumsi dan praduga-praduga yang datang dari keyakinan-keyakinan tertentu ketika melihat realitas kehidupan.[9] Dari sinilah selanjutnya keluar ungkapan terkenal dari seorang Husserl, yaitu zuruck zu den sachen selbt (kembalilah pada realitas itu sendiri)
Epoche sendiri memiliki empat macam, yaitu (1) Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan. (2) Method of existensional bracketing, meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda, (3) Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni, dan (4) Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. Menerapkan empat metode epoche, maka seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang diamati.[10]
Setelah melakukan pengamatan langsung terhadap realitas secara bebas (melihat realitas apa adanya), barulah dilakukan penyaringan fenomena (realitas yang tampak). Langkah kedua ini disebut juga eidetic vision-membuat ide, menggambarkan idea atau dengan kata lain disebut juga sebaga “reduksi”, artinya menyaring fenomena-fenoma tadi hingga akhirnya sampai kepada intisari fenomena tersebut. Di sini Husserl menawarkan tiga tahap reduksi sebagaima dikutip oleh Rappar dalam bukunya. Pertama adalah reduksi fenomenologis dengan cara melakukan penyaringan pengalaman pertama yang terarah kepada eksistensi fenomena. Pengalaman yang bersifat indrawi tidak dibuang begitu saja, tetapi ditangguhkan dalam proses penyaringan sehingga tersingkirlah semua bentuk-bentuk prasangka dan praanggapan.[11]
Yang kedua reduksi eiditis.[12] Ini dilakukan untuk menemukan hakikat fenomena yang tersembunyi. Pengamatan terhadap fenomena dilakukan secara teliti agar supaya terungkap hakikat fenomena yang sesungguhnya. Dalam proses ini, pengamat perlu mengarahkan diri kepada isi yang paling mendasar dan segala sesuatu yang paling hakiki. Langkah ini merupakan proses lebih lanjut dari langkah yang pertama.
Ketiga, reduksi trasendental adalah menyisihkan dan menyaring semua Hubungan antara fenomena-fenomena yang diamati dengan lainnya. Misalnya  saja fenomena yang diamati itu adalah diri kita sendiri. Kita harus menyadari  bahwa diri kita sendiri senantiasa memiliki hubungan dengan yang lainnya,  yang berada di luar kita sendiri. Hubungan yang demikian membuat kita  senantiasa berada dalam situasi tertentu, seperti kita sedang makan, sedang menulis, mandi dan sebagainya. Reduksi ini harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran empiris sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan dengan fenomena lainnya[13].

Konsep Dunia-Kehidupan (Lebentswelt)
            Dalam dunia-kehidupan oleh pengertian Husserl dapat dipahami kurang lebih, dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Konsep ini sangat penting dalam kajian fenomenologi berkenaan dengan kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial. Konsep ini pula dapat menjadi dasar ilmu pengetahuan guna mengatasi problem yang sedang dihadapi ilmu pengetahuan akibat pengaruh pola pikir positivistik.     
Konsep lebentselt (dunia-kehidupan) sejatinya memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi sebelum kita meneorikan atau mereflesikannya secara filosofis. Dunia kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Sayangnya, dunia kehidupan itu sudah dilupakan. Kita kerap memaknai kehidupan tidak secara apa adanya, tetapi berdasarkan teori-teori, refleksi filosofis tertentu, atau berdasarkan penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi kehidupan, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Maka fenomenologi menyerukan zuruck zu de sachen selbt (kembali kepada benda-benda itu sendiri), yaitu upaya untuk menemukan kembali dunia kehidupan.[14]
            Dalam kehidupannya dengan ilmu sosial, memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (yang biasanya diterjemahkan, “dunia-kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmun Husserl, dalam bukunya termasyhur, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep dunia-kehidupan merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat ola pikir positivistik dan sainstistik itu. Katanya: “dunia-kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan bagi ilmu pengetahuan[15]
            Sebenarnya, kedua konsep dalam paradigma fenomenologi di atas menjadikan adanya perbedaan antara pendekatan (metode) terhadap apa itu ilmu-ilmu alam dan apa itu ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam adlah ilmu-ilmu yang nomotetis, artinya penelitiannya dilakukan guna mendapatkan atau menghasilkan hukum-hukum dari objek kajiannya. Sedangkan ilmu-ilmu sosial adalah kebalikan dari ilmu alam. Ia bukan untuk mendapatkan hukum-hukum melainkan finalnya adalah menggambarkan (idiografis) atau juga melukiskan keunikan-keunikan yang terjadi pada objek realitas sosial yang ada. Dari sanalah selanjutnya pendekatannya berbeda. Jika yang pertama dengan pendekatan Erklären (menjelaskan), sedangkan yang kedua dengan Verstehen (memahami) sebagimana diterangkan oleh Dilthey.[16]

Penutup
Metode Fenomenologi yang dibawa oleh Husserl secara tidak langsung merupakan tanggapan atu kritik terhadap problem keilmuan modern yang dianggap problematik oleh sebab pengaruh besar paradigma positivisme Auguste Comte, dimana ia hanya melihat apa yang tampak (positif) dan mengabaikan aspek lainnya. Ini diperparah ketika Comte masuk tidak hanya pada ranah ilmu-ilmu alam, tetapi juga ilmu sosial yang sudah dipastikan objek kajiannya jauh berbeda dari ilmu alam itu sendiri. Dari situ, sejauh ini metode ini yang baik digunakan untuk menerengkan sesuatu-pada kajian sosial khususnya adalah metode fenomenologi. karena kita akan mendapatkan gambaran umum dan mendalam dari objek yang ingin kita teliti atau ketahui berdasarkan penampakkan-penampakkan pada diri objek. Dan penampakkan-penampakkan yang dimaksudkan dalam metode fenomenologi merupakan penampakkan yang sama sekali baru. Dalam arti tidak ada tirai yang menghalangi suatu realitas itu untuk menampakkan diri. Dan karena realitas yang muncul itulah maka kita berkesadaran. Fenomenologi ini jua yang pada akhirnya menjadikan filsafat ilmu merambah dan teraplikasikan tidak hanya pada karakter ilmiah ilmu-ilmu alam tetapi juga dapat diterapkan pada ranah sosial.
Selanjutnya, metode yang dibawa oleh Husserl ini menjadikan dua pendekatan, yaitu Prinsip Epoche dan Eidict Vision dan Konsep Dunia Kehidupan (Lebentswelt). Keduanya ini sebagai jalan untuk dapat memahami apa sebenarnya yang terjadi pada realitas secara apa adanya. Oleh karena objeknya yang berbeda dari ilmu alam, ia tidak bisa menghukumi hasil kajian dan hanya pada tataran menerangkan keunikan-keunikan realitas objeknya saja.


Daftara Pustaka
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (PT Gramedia, Jakarta, 2005), cetakan keempat
Donald M, Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 7), (United States of America, Thomson Gale, 2006)
Hadiwijono, Hasan, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yohjakarta: Kanisius, 1993)
Kenny, Anthony, A New History of Western Philosophy: Philosophy in the Modern World, Vol IV, (Oxford: Oxford University Press, 2007)
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, Cet 8, 2014)
Rachman, Budhy Munawar, Fenomenologi Diri dan Konstruk Sosial Mengenal Kebudayaan Edmund Husserl dan Jejak-jejaknya pada Maurice Merleau-Ponty dan Peter Berger, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol 1, No. 6, Juli, 2013
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996)
Woodruff Smith, Barry Smith & David, Husserl’s Place in the iin the Hs in the Historyin the History of Philosophy dalam The Cambridge Companion to Husserl, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999),
Zubaidi, Mohammad Muslih dan Sujiat, Kritik Epistemologi & Model PembacaanKontemporer, (Yogyakarta: LESFI, 2013),






[1]Budhy Munawar Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruk Sosial Mengenal Kebudayaan Edmund Husserl dan Jejak-jejaknya pada Maurice Merleau-Ponty dan Peter Berger, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol 1, No. 6, Juli, 2013, p. 493.
[2]Semua bagian tentang biografi ringkasnya diambil dari David Woodruff Smith, Husserl, (USA: Routladge, 2007), p. 11-39. Lihat juga Barry Smith & David Woodruff Smith, Husserl’s Place in the iin the Hs in the Historyin the History of Philosophy dalam The Cambridge Companion to Husserl, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), p. 1.
[3]Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia, cet 5, 2005), p. 230-31
[4]Ibid, p. 232
[5]Donald M. Borchert (ed), Encyclopedia Of Philosophy, (USA, Thomson Gale, 2005), Vol. 7, p. 278.
[6]Mohammad Muslih dan Sujiat Zubaidi, Kritik Epistemologi & Model PembacaanKontemporer, (Yogyakarta: LESFI, 2013), p. 115.
[7]Lihat Donald M. Borchert (ed), Encyclopedia Of Philosophy........., p. 279.
[8]Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, Cet 8, 2014), p. 145.
[9]Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy: Philosophy in the Modern World, Vol IV, (Oxford: Oxford University Press, 2007) , p. 162
[10]Lihat Hasan Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yohjakarta: Kanisius, 1993), Cet. Ke 9.
[11]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), p. 119.
[12]Lihat Mohammad Muslih dan Sujiat Zubaidi, Kritik Epistemologi........., p. 128.
[13]Lihat  Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat........., p. 120. Juga ibid, p. 128.
[14]Lihat Mohammad Muslih,  Filsafat Ilmu........., p. 148.
[15]Ibid, p. 148.
[16]Ibid, 149.